Singkatnya, Pasal 6.4 itu apa? Pasal 6.4 adalah mekanisme pasar karbon resmi di bawah Perjanjian Paris.
Di sini, Proyek yang mengurangi atau menyerap emisi (misal energi terbarukan, restorasi hutan) bisa menerbitkan kredit karbon internasional.
Kredit ini bisa dipakai negara lain atau pihak swasta untuk membantu memenuhi target iklim (NDC). Mekanisme ini diawasi sebuah “Supervisory Body” di bawah PBB.
Banyak orang nyebut 6.4 sebagai “CDM versi upgrade”: masih jual-beli kredit, tapi dengan standar yang harusnya lebih ketat.
Cara kerja dasarnya Pasal 6.4 gimana?
Kurang lebih begini, Ada proyek (misalnya: PLTS pengganti PLTU, restorasi hutan, rehabilitasi mangrove).
Proyek dihitung berapa emisi yang benar-benar berkurang/terserap dibanding skenario “business as usual”.
Pengurangan itu dikonversi jadi unit karbon (kredit) yang dicatat di sistem resmi PBB.
Kredit bisa: ditransfer ke negara lain (untuk bantu mencapai NDC), atau dipakai sendiri oleh negara tuan rumah sebagai kontribusi mitigasi.
Di atas kertas, tujuannya mulia: mengurangi emisi global + kasih insentif finansial buat negara berkembang.
Bedanya Pasal 6.4 dengan Pasal 6.2 apa?
Pasal 6.2 Kerja sama bilateral/multilateral antarnegara.
Aturan lebih fleksibel, banyak detail diatur di perjanjian antar pihak.
Risiko: transparansi rendah, publik susah memantau.
Pasal 6.4
Satu mekanisme terpusat PBB dengan badan pengawas. Ada standar metodologi, registry publik, dan prosedur yang seragam.
Harusnya jadi filter kualitas kredit karbon, bukan jalur belakang.
Makanya 6.4 dipandang penting: kalau dia longgar, pasar karbon global bisa kebanjiran kredit murahan.
Kenapa jadi sumber keributan global?
Karena Pasal 6.4 menyentuh tiga isu sensitif:
1. Integritas lingkungan
Takutnya: kredit diterbitkan buat proyek yang sebenarnya tidak benar-benar nambah pengurangan emisi (kurang “additional”).
Kalau hutan yang dihitung sebagai penyerap karbon kemudian terbakar/ ditebang, offset fosil yang sudah “diklaim bersih” jadi bohong.
2. Warisan skema lama (CDM)
Banyak proyek lama pengen “dimigrasikan” masuk 6.4.
NGO dan pakar khawatir: kalau semua diangkut begitu saja, kualitas kredit jeblok.
3. Hak masyarakat & keadilan iklim
Banyak proyek karbon berbasis alam berada di wilayah adat, desa pesisir, atau komunitas lokal.
Tanpa safeguard sosial-lingkungan yang kuat, risiko konflik lahan, kriminalisasi, dan ketidakadilan makin tinggi.
Karena itu, kubu masyarakat sipil mendorong 6.4 jadi mekanisme yang super-ketat, sementara banyak pemerintah dan pelaku pasar ingin aturan yang lebih longgar dan “ramah bisnis”.
Terus, di mana posisi Indonesia dalam polemik ini?
Di COP30, Indonesia diprotes karena:
Membawa puluhan perwakilan industri fosil dan pasar karbon dalam orbit delegasi resmi.
Menyampaikan intervensi di agenda Pasal 6.4 yang dinilai sejalan dengan tuntutan pelonggaran aturan (terutama soal permanensi, kebakaran/reversal, dan safeguard proyek berbasis alam).
Dari sinilah muncul kritik bahwa negosiasi teknis Pasal 6.4 sudah tidak lagi netral, tapi mulai didikte oleh kepentingan yang ingin pasar karbon tetap longgar — bahkan kalau itu berarti risiko greenwashing dan ketidakadilan buat masyarakat di lapangan.
























Leave a Reply