Benarkah Kita Menelan Mikroplastik Sebesar Kartu ATM per Minggu?

Seorang manusia menelan mikroplastik dari air dalam kemasan
Kebenaran yang sulit ditelan, tapi perlahan jadi bagian dari kita.

Dunia Plastik di Dalam Tubuh

Siang tadi Gw minum air dalam kemasan. Biasa aja sih awalnya, sampe kemudian kepikiran berita yang pernah viral: manusia menelan mikroplastik seberat satu kartu ATM setiap minggu.

Kalimatnya sederhana tapi ngeri bro. Lima gram plastik. Tiap minggu. Itu banyak! Kalau dikumpulkan setahun, badan gw bisa berisi lego atau dompet berisikan kartu plastik.

Klaim satu orang satu minggu satu kartu atm itu berasal dari laporan WWF tahun 2019 yang mengutip studi University of Newcastle. Mereka memperkirakan manusia mengonsumsi sekitar 2000 partikel mikroplastik per minggu — sebagian besar dari air minum, baik kemasan kecil, galon atau air keran. Kalau ditimbang, jumlahnya setara dengan satu kartu ATM: sekitar lima gram.

Angka itu viral karena mudah dibayangkan. Ia memberi wajah konkret pada sesuatu yang tak terlihat. Dan di dunia yang penuh kebingungan tentang krisis iklim, satu gambar konkret lebih kuat dari seribu data rumit.

Tapi gw juga mulai curiga: apa iya segitu banyaknya? Apakah benar tubuh manusia menelan plastik sebanyak itu? Dan kalau iya, apakah itu berarti kita perlahan sedang makan diri kita sendiri?

Kata para ilmuwan, setiap minggu manusia menelan mikroplastik sebesar satu kartu ATM.
Tapi seberapa akurat angka itu — dan apa sebenarnya yang masuk ke tubuh kita?

Antara Sains dan Sensasi

Beberapa tahun setelah laporan WWF, muncul banyak pertanyaan dari komunitas ilmiah.
Salah satu yang paling keras datang dari Martin Pletz, peneliti lingkungan asal Austria.
Tahun 2022, ia menulis ulang perhitungannya dengan data yang lebih mutakhir. Kesimpulannya: klaim lima gram per minggu terlalu tinggi.

Masalahnya ada pada metode dan asumsi. Banyak data dari studi awal diambil dari sampel terbatas — kadang hanya belasan air kemasan dari beberapa negara. Kemudian hasil itu diekstrapolasi ke populasi global.

Hasilnya memang menggugah, tapi tidak meyakinkan secara ilmiah.

Pletz menyebut, kalau semua data diperhitungkan secara konservatif, manusia mungkin hanya menelan 0,1–0,5 gram mikroplastik per minggu, bukan lima gram. Angka ini menang masih banyak, tapi jauh dari klaim kartu ATM.

Tapi bukan berarti kita aman. Karena meskipun angkanya kecil, partikel mikroplastik bisa menumpuk di jaringan tubuh.

Peneliti dari Universitas Amsterdam (2022) menemukan partikel plastik dalam darah manusia — terutama jenis polietilena dan polistirena. Bahkan, studi di Italia tahun 2023 mendeteksi mikroplastik di plasenta bayi baru lahir.

Kita menelan plastik dari udara yang kita hirup, dari air yang kita minum, dari garam laut, bahkan dari pakaian sintetis yang kita cuci. Partikel itu kecil — kurang dari 5 milimeter — tapi daya jelajahnya luar biasa. Ia bisa melayang di atmosfer, mengendap di laut, atau menempel di paru-paru manusia.

Jadi meskipun gw nggak menelan satu kartu ATM setiap minggu. Tapi seperempatnya aja sudah cukup bikin risih. Karena yang masuk ke tubuh gw bukan sekadar plastik, tapi potongan kecil dari dunia yang kita cemari sendiri.

Tubuh kita kini seperti arsip kecil dari peradaban modern — menyimpan sisa dari gaya hidup yang nggak pernah berhenti memproduksi.

Mikroplastik, Tubuh, Kebiasaan, dan Kepura-puraan

Kalau dipikir lebih jauh lagi, ini adalah ironi yang sempurna. Kita hidup di zaman di mana plastik jadi simbol kemajuan, tapi juga sumber dari kerusakan secara perlahan.

Setiap kali gw beli air botolan, gw tahu sebagian plastik itu akan kembali ke gw, dalam bentuk yang lebih kecil, lebih diam-diam.

Kita menolak sedotan plastik, tapi masih pakai pakaian dari poliester yang melepaskan 700.000 serat mikroplastik tiap kali dicuci.

Kita bangga membawa tote bag “ramah lingkungan,” tapi beli baju baru setiap bulan dari merek fast fashion.

Masalahnya bukan di niat baik, tapi di kepura-puraan sistemik. Kita menghitung jejak karbon pribadi kita, tapi jarang bertanya siapa yang menghasilkan dan mengambil keuntungan dari jutaan ton plastik itu dari pabrik.

Menurut laporan OECD (2022), hanya 9% dari total plastik dunia yang berhasil didaur ulang.
Sisanya dibakar dan kembali ke atmosfer, dibuang ke TPA, atau hanyut ke laut.

Dan ironinya, industri yang sama yang memproduksi plastik kini ikut menjual solusi hijau.

Botol “eco” dari bahan daur ulang.

Kampanye “responsible consumption.”

Padahal sistem produksinya tetap sama.

Kita ini bukan kekurangan aturan, tapi kehilangan malu.

Kita tahu plastik beracun. Kita tahu laut tercemar. Tapi selama masih ada promo air botolan dan diskon fashion, rasa bersalah itu mudah diredam.

Kita tahu Mc D menyumbang praktik genocide di Israel, kita tahu KFC memberi makan tentara yang membunuh bayi. Tapi begitu ada diskon dan promo, kita berbondong-bondong antri mendapatkannya.

Kita menelan mikroplastik, tapi yang lebih dalam lagi — kita menelan kepura-puraan.

Dari Kartu ATM ke Kenyataan yang Sulit Ditelan

Sekarang, setiap kali gw minum air kemasan, gw berhenti sejenak. Membayangkan partikel plastik tak terlihat ikut masuk, mengalir lewat tenggorokan, dan entah berhenti di mana.
Mungkin di usus. Mungkin di paru-paru.

Dan di antara semua partikel itu, yang paling berbahaya mungkin bukan plastiknya — tapi rasa tenang yang menemaninya. Rasa bahwa semuanya masih wajar, bahwa kita bisa beradaptasi pada segala kerusakan yang kita ciptakan.

Mungkin bukan kartu ATM yang gw telan. Mungkin cuma sepotong kenyataan — bahwa dunia plastik ini perlahan sedang menelan kita.

Dan jujur aja, gw mulai takut. Bukan karena plastiknya. Tapi karena kita udah terlalu terbiasa hidup di antara kepalsuan yang pelan-pelan masuk ke dalam tubuh, tanpa perlawanan.