Carbon Offset pada dasarnya juga bisa menjadi istilah perubahan iklim yang menyesatkan
Halo genk balik lagi di podcast “Bumi yang Berubah”, di seri “Istilah Perubahan Iklim yang Menyesatkan”
Kalau di episode sebelumnya kita bahas janji-janji net zero yang mirip kayak janji mantan—nggak ditepati dan penuh ilusi masa depan—di episode kali ini kita bakal bongkar satu jurus pamungkas dari mereka yang suka buang emisi tapi ingin tetap kelihatan suci yaitu… carbon offset.
Jadi ceritanya begini…
“Aku tetap akan buang emisi sekarang, tapi nanti akan aku tebus, misalnya dengan nanam pohon, biar jejak karbonku jadi netral.”
Nah, logika ini dipakai oleh banyak perusahaan, negara, bahkan individu… dalam bentuk carbon offset.
Hmm… sounds good?
Yaaa… sounds good on paper. Tapi kita nggak hidup di PowerPoint.
Carbon offset adalah mekanisme di mana emisi gas rumah kaca dari satu aktivitas ditebus atau “dineutralkan” oleh aktivitas lain yang menyerap atau menghindarkan emisi, seperti menanam pohon, melindungi hutan, atau membangun proyek energi bersih.
Emisi kamu? “Sudah ditebus.”
Hati kamu? “Lebih ringan.”
Tapi planetnya? Hmmm… belum tentu.
Ada satu contoh kasus besar Verra dan hutan di Amazon
Pada 2023, investigasi media internasional menemukan bahwa lebih dari 90% offset hutan tropis yang disertifikasi oleh Verra (lembaga sertifikasi offset terbesar di dunia) ternyata tidak punya dampak nyata terhadap pengurangan emisi.
Ini artinya perusahaan-perusahaan raksasa seperti Disney, Gucci, dan Shell… membayar “penebusan emisi” lewat proyek yang tidak benar-benar melindungi hutan.
European Commission juga mengeluarkan laporannya bahwa dari seluruh proyek offset yang dianalisis, hanya 2% yang benar-benar memenuhi syarat: “additional, permanent, and verifiable”.
Carbon offset itu kayak bilik pengakuan di gereja. Ngaku dosa tapi setelah ngaku dosa, kita malah langsung ngulang dosa yang sama. Bedanya? Kali ini sambil bawa sertifikat.
Dan perusahaan besar suka banget sama ini. Mereka bisa terus membakar bahan bakar fosil… Tapi tetap terlihat ramah lingkungan… Karena udah “beli penebusan karbon”.
Contoh Ironis lainnya adalah Shell dan Chevron
Shell mengklaim bahwa bahan bakar premiumnya net zero karena sudah di-offset.
Padahal, proyek offset-nya hanya janji menanam pohon di Peru. Pohonnya? Belum tanam. Tapi bensinnya? Udah habis dipakai.
Chevron pada 2022 mengaku offset karbon melalui proyek hutan di Asia. Tapi saat dicek lapangannya? Sebagian proyeknya ternyata adalah kawasan hutan yang memang sudah dilindungi sejak lama. Jadi? Tidak ada tambahan manfaat. Cuma tempelan sertifikat.
Kenapa Ini Bahaya?
Karena offset bisa jadi distraction dari masalah sesungguhnya. Alih-alih mengurangi emisi dari sumbernya (seperti hentikan batu bara, kurangi konsumsi minyak), Mereka justru beli “pembersih citra” pakai duit.
Dan yang lebih gawat lagi:
Banyak proyek offset melibatkan lahan masyarakat adat dan petani kecil. Tanah mereka diklaim sebagai “penyerap karbon”, tanpa persetujuan yang jelas. Lagi-lagi: rakyat kecil menanggung beban dosa karbon orang kaya.
Genk… Dunia Bukan Neraca Akuntansi. Planet kita bukan buku kas. Gak bisa seenaknya debit emisi di satu tempat, lalu kreditkan penebusan di tempat lain.
Apalagi kalau kreditnya pakai janji yang belum terealisasi.
Carbon offset bukan solusi utama. Dia hanya bisa jadi pelengkap — jika dan hanya jika emisi betulan ditekan dulu.
Kalau semua dosa emisi bisa ditebus hanya dengan tanam pohon, maka Elon Musk tinggal beli Amazon, dan kita semua bisa tenang di kulkas akibat bumi makin panas.
Leave a Reply