Deforestasi oleh Sawit dan Janji Hijau yang Palsu

Lanskap hutan gundul dengan batang pohon tumbang dan langit kelabu.
Hutan tak butuh slogan keberlanjutan; ia butuh kejujuran dan perlindungan nyata dari keserakahan yang mengatasnamakan kemajuan.

Saya sering mendengar kata “sawit berkelanjutan” di setiap forum iklim atau laporan korporasi besar. Katanya, ini bukti bahwa industri sudah berubah. Tapi ketika saya membuka laporan satelit yang diterbitkan Chain Reaction Research, kenyataan itu menampar keras: deforestasi oleh sawit masih terjadi, dan pelakunya tetap sama — hanya narasinya yang diganti dengan kalimat manis tentang tanggung jawab lingkungan.

Pada 2020, sekitar 38.000 hektare hutan hujan di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini lenyap untuk perkebunan sawit. Lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya, kata mereka. Tapi angka itu menipu — karena pandemi membatasi mobilitas, bukan karena niat menyelamatkan hutan. Begitu ekonomi kembali berjalan, mesin-mesin kembali hidup. Hutan kembali tumbang.

Saya menyadari bahwa deforestasi ini bukan hanya tentang kehilangan pohon, melainkan kehilangan logika. Kita berlari menuju masa depan hijau dengan rantai gergaji di tangan.

Deforestasi oleh Sawit, Pelakunya Sama, Narasinya yang Berubah

Data CRR menunjukkan 58% deforestasi 2020 terjadi di konsesi milik sepuluh perusahaan besar. Nama-nama itu berulang setiap tahun: dari Ciliandry Anky Abadi, Bengalon Jaya Lestari, hingga perusahaan milik pengusaha misterius bernama Sulaidy di Kalimantan Timur — yang menebang hampir dua ribu hektare hutan untuk perkebunannya.

Yang ironis, minyak sawit dari perusahaan-perusahaan ini berakhir di produk-produk global yang kita gunakan setiap hari — dari sabun, sampo, biskuit, hingga kosmetik. Merek-merek besar seperti Johnson & Johnson, Kellogg’s, L’Oreal, Mondelēz, dan Unilever berdalih mereka punya “komitmen nol deforestasi.”

Tapi komitmen itu seperti kontrak di atas kabut — tampak megah, tapi menguap begitu disinari realitas. Berturut-turut konglomerat yang membeli dari praktik deforestasi oleh sawit adalah: ADM,  Oleon,  Avon,  Danone,  Kellogg’s,  Mondelēz,  Nestlé,  PZ Cussons,  Unilever, dan  Upfield.

Saya belajar bahwa dalam politik hijau global, yang diselamatkan bukanlah hutan, tapi citra. Kita menukar karbon dengan kosmetika moral.

Deforestasi oleh Sawit dan Politik Janji Hijau

Pemerintah Indonesia bangga dengan program biodiesel — katanya solusi energi bersih, masa depan ramah lingkungan. Tapi di balik itu, proyek besar seperti Food Estate dan perluasan HGU justru membuka jalan bagi penebangan hutan baru hingga 15 juta hektare.

Inilah paradoksnya: kita bicara tentang “energi hijau,” tapi bahan bakarnya berasal dari hutan yang ditebang. Deforestasi oleh sawit menjadi fondasi dari ekonomi hijau palsu. Saya menyebutnya “green paradox” — ketika solusi lingkungan justru menciptakan krisis ekologis baru.

Mereka bilang sawit adalah sumber devisa. Benar. Tapi jika devisa dibangun di atas abu hutan, apakah itu keberlanjutan? Kita membangun masa depan di atas tanah yang telah kehilangan akar.

Janji Korporasi dan Realitas Hutan yang Sunyi

Saya pernah membaca laporan tahunan sebuah perusahaan besar. Halamannya dipenuhi foto pekerja tersenyum di kebun hijau, lengkap dengan tagar #SustainabilityInAction. Tapi tak ada foto kebun gambut yang mengering. Tak ada foto satwa yang kehilangan rumah. Tak ada suara penduduk lokal yang kehilangan mata air karena kebun monokultur.

Di sinilah letak ironi terbesar: korporasi pandai menciptakan cerita yang indah, tapi buta terhadap realitas yang mereka ciptakan. Mereka menanam pohon di satu sisi, menebang hutan di sisi lain, lalu menyebutnya “net zero.”

Deforestasi oleh sawit bukan lagi sekadar isu lingkungan, tapi cermin dari keserakahan yang disamarkan sebagai kemajuan. Dan saya merasa kita semua terlibat — sebagai konsumen, penulis, warga dunia — dalam sistem yang terus menggilas bumi sambil berdoa agar tetap lestari.

Saatnya Menyebut Segalanya Apa Adanya

Saya percaya, sebelum kita bisa menyelamatkan bumi, kita harus lebih dulu jujur. Berhenti menyebut penebangan sebagai “pembangunan.” Berhenti menyebut ekspansi sawit sebagai “transisi energi.”

Hutan tidak butuh janji hijau. Ia butuh perlindungan nyata. Ia butuh manusia yang berani berhenti menipu dirinya sendiri.

Karena pada akhirnya, deforestasi oleh sawit bukan hanya soal hilangnya pepohonan — tapi hilangnya kejujuran kita. Dan tanpa kejujuran, tak ada masa depan yang benar-benar hijau.\

Dari latar belakang analisa, komitmen perusahaan-perusahaan besar dari Avon, Kellogg´s hingga Unilever untuk tidak menggunakan minyak sawit yang merusak hutan hujan tidak bisa dipercaya.