Pernah nggak lo ngerasa… perubahan iklim itu kayak isu yang “terlalu jauh”? Kita dengar istilahnya di berita, tapi nggak ngerasa nyambung langsung ke hidup sehari-hari. Padahal, buat sebagian orang di negeri ini, krisis iklim bukan lagi wacana —tapi kenyataan pahit yang harus mereka hadapi tiap hari.
Gw sering mikir, sebagian orang di dunia ini punya kemewahan untuk tidak peduli. Tapi jutaan orang lain? Mereka nggak punya pilihan selain bertahan.
Ketika panas makin menyengat, mereka nggak bisa pasang pendingin ruangan. Ketika banjir datang, mereka nggak bisa kabur ke vila di dataran tinggi. Dan ketika harga pangan naik karena musim ekstrem yang nggak menentu, mereka cuma bisa berharap: semoga besok masih bisa makan.
Keadilan iklim bukan sekadar tentang menyelamatkan bumi. Tapi tentang menyelamatkan manusia—terutama mereka yang paling nggak punya pilihan untuk bertahan.
Ketimpangan yang Makin Terlihat Saat Alam Marah
Coba lihat: siapa yang paling dulu kena dampak ketika cuaca ekstrem datang?
Petani kecil yang gagal panen karena hujan nggak turun berbulan-bulan. Nelayan yang nggak bisa melaut karena angin dan gelombang makin liar. Warga pesisir yang tiap tahun rumahnya makin dekat ke laut karena kenaikan permukaan air laut.
Ironinya, mereka yang paling sedikit menyumbang emisi karbon justru yang paling berat menanggung akibatnya. Sementara yang paling banyak mencemari bumi… hidupnya tetap berjalan normal.
Gw pernah ketemu seorang ibu di Cirebon. Ia bertani di lahan sewaan, tapi musim udah nggak bisa ditebak. “Dulu tanam bisa sambil nyanyi, sekarang seperti nebak hati orang kota,” katanya sambil ketawa getir.
Dari situ gw sadar, pemanasan global bukan cuma tentang suhu naik 1,5 derajat—tapi tentang nasi di piring, air di ember, dan napas yang makin berat di dada.
Adaptasi Tanpa Mitigasi Itu Kayak Ngelap Air Tanpa Nutup Keran Bocor
Gw sering lihat kampanye tentang adaptasi iklim. Bagus, sih. Kita diajarin nanam pohon, bikin biopori, pakai tas kain. Tapi kadang gw mikir… kok yang disuruh berubah selalu masyarakat kecil, sementara para pelaku industri besar yang ngebakar hutan, ngebor bumi, dan nyumbang polusi paling gede masih aman-aman aja?
Kita seolah diajak belajar berenang di rumah yang kebanjiran, tapi lupa nutup sumber airnya.
Adaptasi tanpa mitigasi itu kayak ngelap air tanpa nutup keran bocor. Kita capek-capek nyeka lantai, sementara sistem di atas sana tetap bocor.
Kalau bicara mitigasi perubahan iklim, berarti kita juga bicara tanggung jawab moral dan lingkungan. Bahwa adaptasi penting, tapi gak bisa jalan sendirian tanpa aksi iklim yang nyata dari pelaku besar.
Dan mitigasi gak akan adil kalau beban perubahannya cuma ditimpakan ke yang paling lemah.
Keadilan Iklim Butuh Solidaritas, Bukan Sekadar Program
Keadilan sosial dalam isu lingkungan bukan proyek pemerintah, bukan pula jargon konferensi internasional. Ia harus jadi kesadaran kolektif.
Negara wajib hadir lewat kebijakan publik yang berpihak pada rakyat rentan: petani, nelayan, perempuan, dan anak-anak di pesisir.
Korporasi harus bertanggung jawab atas jejak karbon dan rantai pasok produksinya, bukan cuma cari citra lewat kampanye hijau.
Dan kita—masyarakat biasa—punya peran menjaga kesadaran dan solidaritas tetap hidup.
Karena kadang, empati lingkungan bergerak lebih cepat daripada kebijakan. Di saat negara sibuk rapat, warga di kampung udah gotong royong bikin tanggul darurat supaya air nggak masuk rumah.
Itu keadilan yang nyata: kecil, tapi tulus. Dan dari situlah transisi energi sejati seharusnya dimulai—dari manusia, bukan dari dokumen.
Refleksi: Krisis Iklim Adalah Ujian Kemanusiaan
Krisis iklim ini, pada akhirnya, bukan cuma soal angka suhu atau data emisi. Ini soal siapa yang kita biarkan tenggelam, dan siapa yang kita bantu bertahan.
Gw nggak tahu kapan dunia bakal benar-benar berubah, tapi gw percaya: perubahan besar sering dimulai dari hati yang nggak tega. Nggak tega lihat seorang ibu kehujanan sambil tetap nyari nafkah.
Nggak tega lihat anak-anak main di jalan berlumpur karena banjir langganan.
Mungkin itu cara paling manusiawi untuk melawan perubahan iklim di Indonesia—bukan dengan marah, tapi dengan peduli.
Karena di tengah dunia yang makin panas, solidaritas manusia adalah satu-satunya hal yang masih bisa bikin kita tetap hangat.


























Leave a Reply