Kalau kita ngomongin pendanaan iklim global, ceritanya sering kali mirip drama utang lama dengan bumbu baru. Bayangin rumah kamu penuh asap karena tetangga bakar sampah. Lalu dia datang, bilang, “Tenang, aku bantu bersihin — tapi bunga 7%, ya. Kalau telat bayar, TV kamu aku ambil.”
Sekilas kayak solusi, tapi kalau dipikir-pikir… siapa sebenarnya yang untung?
Begitu juga dengan Bank Dunia dan IMF, dua institusi keuangan internasional yang suka datang dengan senyum hijau — tapi dompetnya penuh syarat.
Janji yang Hijau, Tapi Tak Selalu Adil
Waktu negara-negara maju janji kasih 100 miliar dolar per tahun untuk menghadapi krisis iklim (sejak COP15 Kopenhagen 2009), dunia seakan punya harapan baru. Tapi menurut laporan OECD (2023), sampai hari ini dana yang benar-benar turun baru sekitar 89,6 miliar dolar — dan mayoritas bukan hibah, tapi utang iklim.
Artinya, negara-negara di Selatan Global, termasuk Indonesia, harus meminjam uang untuk melawan krisis yang bukan mereka buat. Negara yang nyumbang emisi paling besar, justru duduk nyaman jadi pemberi pinjaman.
Dan kalau ada yang bilang ini “bantuan”, mungkin mereka perlu belajar arti kata “keadilan iklim”.
Teman yang Suka Ngatur Rumah Kita
Bank Dunia dan IMF sering tampil sebagai penyelamat di forum-forum besar, tapi bantuan mereka nggak pernah tanpa syarat.
Mereka minta reformasi ekonomi, penghapusan subsidi, dan deregulasi — yang ujung-ujungnya bikin rakyat kecil makin berat hidupnya.
Laporan Oxfam (2022) nunjukin, 70% dana adaptasi iklim untuk negara berkembang dikasih dalam bentuk pinjaman.
Alias, bantuannya bisa jadi jebakan: kamu dikasih payung pas hujan, tapi nanti disuruh bayar sewanya tiap bulan.
Dan di balik setiap rapat atau laporan “transisi energi berkelanjutan,” sering ada aroma geopolitik yang kuat. Siapa yang ngatur arah proyek, siapa yang pegang data, siapa yang dapat kontrak — semuanya balik ke yang punya kuasa finansial, bukan ke yang paling butuh perlindungan.
Keadilan Iklim Bukan Sekadar Slogan
Masalah ini bukan cuma soal siapa yang bayar, tapi siapa yang didengar.
Dalam setiap pertemuan global, keadilan iklim sering jadi jargon yang enak dikutip tapi jarang dijalankan.
Padahal bagi negara-negara di Selatan Global, keadilan iklim itu sederhana: kalau kamu yang bikin polusi, ya kamu yang bayar.
Kalau kami yang jaga hutan, tolong jangan suruh kami berutang untuk melanjutkannya.
Negara-negara kecil dan berkembang butuh akses langsung ke pendanaan iklim global tanpa perantara yang menumpuk bunga dan syarat. Mereka butuh kepercayaan, bukan pengawasan berlapis. Karena di lapangan, yang berjaga dari banjir, kekeringan, dan gagal panen bukan direksi IMF — tapi petani, perempuan, dan komunitas lokal.
Sudah Saatnya Kita Menulis Ulang Aturan tentang Pendanaan Iklim Global
Krisis iklim seharusnya jadi momen untuk mengubah cara kerja dunia, bukan sekadar menambah spreadsheet utang.
Selama sistem pendanaan masih dikuasai oleh institusi keuangan internasional yang menuntut laba, krisis ini akan terus jadi bisnis yang menguntungkan segelintir orang.
Kita butuh model baru: pendanaan iklim global yang adil, transparan, dan berbasis solidaritas.
Kita butuh suara dari Selatan — dari negara-negara yang selama ini jadi korban, tapi juga punya solusi.
Karena menyelamatkan bumi nggak bisa dilakukan dengan logika bank. Ia butuh empati, bukan bunga.
Leave a Reply