COP30, Janji Lama, Drama Baru

Ilustrasi suasana simbolik COP30 yang menyorot ketegangan antara janji iklim dan realitas sosial modern.
Sementara para pemimpin sibuk merumuskan janji di COP30, kita diingatkan bahwa simbol-simbol seperti ini sering lebih jujur dari keputusan politik yang lahir di ruang rapat ber-AC.

Dunia yang Baru Ingat Bumi Masih Ada

Gw selalu merasa ada ironi ketika negara berkumpul di forum besar seperti COP30, seolah semuanya baru sadar bahwa krisis iklim itu nyata.

Setiap pidato seperti drama lama yang terus diputar ulang tanpa henti. Kita bicara mitigasi, adaptasi, dan pendanaan iklim, tapi realita tetap brutal bagi kota pesisir yang tenggelam pelan. Komunitas lokal terus bertahan tanpa kepastian, sementara para pejabat sibuk mengulang retorika lama. Saya melihat kebiasaan ini seperti ritual global yang lupa kewajiban paling dasar. Dan jujur, waktu untuk teatrikal itu sudah habis sekarang.

Indonesia berdiri di tengah risiko yang terus meningkat karena deforestasi yang keras kepala, emisi yang membandel, dan tekanan pada hutan tropis yang makin rapuh menghadapi perubahan. Masyarakat adat terus menjaga ekosistem, namun ruang hidup mereka digerus ekspansi yang tak pernah berhenti.

Ketahanan pangan juga terganggu oleh cuaca yang makin tidak terduga setiap tahun. Kita bicara transisi energi, tetapi kebijakannya berputar tanpa arah yang jelas. Kota besar menghadapi banjir rutin tanpa solusi adaptasi yang memadai. Saya merasa situasi ini harusnya memaksa kita berhenti bersikap pura-pura. Harus memaksa kita berhenti membelanjakan uang untuk memperbaiki kesalahan yang kita idolakan.


COP30 hadir lagi dengan janji besar, tapi dunia tetap panas dan ketidakpastian makin liar menghantam hidup masyarakat.

Di panggung global, negara maju sibuk menunda komitmen pendanaan iklim sambil menuntut negara berkembang bergerak lebih cepat dalam mitigasi.

Pasar karbon digadang sebagai solusi, tetapi regulasinya masih membingungkan bagi banyak pihak di lapangan.

Keadilan iklim sering disebut, namun implementasinya seperti bayangan yang terus menghindar. Indonesia mencoba memperkuat posisi dalam diplomasi, tetapi dunia tetap berjalan lambat.

Kita butuh cara baru membaca situasi yang berubah cepat. Dan perubahan itu tidak akan datang kalau kita hanya mengulang pola lama.

Ketika COP30 Jadi Ajang Cosplay Penyelamat Planet

Indonesia sebenarnya sudah melakukan banyak hal yang layak dihargai, meski perjalanan masih panjang dan penuh hambatan yang tidak sederhana.

Komitmen NDC terus diperbaiki untuk mendukung mitigasi yang lebih ambisius dalam konteks nasional. Energi bersih mulai dilirik sebagai masa depan, meski infrastrukturnya masih jauh dari cukup.

Hebatnya, komunitas lokal bergerak lebih cepat daripada birokrasi yg cenderung lamban, kalau tidak mau dikatakan berputar2 jalan ditempat.

Saya melihat gerakan ini sebagai bukti bahwa harapan tidak selalu datang dari ruang ber-AC. Namun kita tetap butuh arah kebijakan yang konsisten dan berani.

Generasi muda Indonesia memainkan peran penting dengan mendorong pendidikan iklim yang lebih jujur dan relevan bagi masa depannya yang penuh ketidakpastian.

Mereka menggugat pendekatan lama yang terlalu teknis dan tidak menyentuh realita hidup sehari-hari.

Krisis iklim bukan isu abstrak bagi mereka, tetapi konteks hidup yang akan menentukan masa dewasa mereka. Aktivisme generasi muda mencampur sains, empati, dan keberanian untuk menantang sistem yang gagal.

Gw rasa energi ini harus diintegrasikan ke dalam kebijakan. Tanpa suara mereka, arah perubahan akan kehilangan nyawa.

Filantropi lokal juga mulai membangun ruang kolaborasi yang penting bagi komunitas yang membutuhkan dukungan konkret.

Banyak proyek adaptasi berjalan dengan sumber daya terbatas, tetapi dampaknya nyata bagi masyarakat yang terdampak langsung. Namun regulasi sering lambat merespons kebutuhan, menyebabkan inisiatif yang bagus kehilangan momentum.

Kita butuh kerangka kolaboratif yang memudahkan, bukan menghambat. Potensi besar muncul dari koneksi antara komunitas, kampus, dan organisasi swadaya. Saya percaya kekuatan kolektif ini bisa menjadi fondasi perubahan. Syaratnya hanya satu: konsisten dan berani mengambil resiko.

COP30, Kecanduan Dunia pada Target yang Cuma Keren di PowerPoint

Menurut saya, solusi pasca COP30 tidak bisa lagi memakai pendekatan lama yang penuh jargon tetapi minim tindakan berarti. Indonesia harus berani melampaui presentasi manis dan dokumen tebal yang sulit dipahami publik.

Kita butuh kebijakan transisi energi yang benar-benar masuk akal bagi masyarakat luas. Pendanaan iklim harus menyentuh komunitas yang paling terdampak, bukan berhenti di meja birokrat.

Adaptasi harus dibangun dengan data yang akurat dan konteks lokal yang kuat. Semua langkah ini hanya masuk akal jika keberanian politik hadir tanpa ragu. Dunia tidak menunggu.

Kenyataan bahwa solusi iklim itu tidak glamor harus kita terima tanpa drama yang berlebihan. Solusi sering datang dari kerja kecil yang konsisten seperti restorasi sungai, rehabilitasi lahan, dan penguatan ketahanan pangan.

Masyarakat adat sudah lama melakukan hal ini tanpa tepuk tangan global. Pendidikan iklim perlu diperluas agar generasi muda punya imajinasi masa depan yang lebih kokoh. Saya percaya imajinasi itu penting karena dunia sering terjebak dalam angka dan lupa nilai manusia. Indonesia bisa menjadi contoh yang layak ditiru. Syaratnya sederhana: kerja, bukan wacana.

Pada akhirnya, COP30 bukan penutup perjalanan panjang yang melelahkan ini. Dia hanya satu episode dalam drama global yang terus berjalan dengan pola yang sering memuakkan kita semua.

Namun kita tetap punya pilihan untuk bersikap lebih berani dan tidak hanya menunggu hasil rapat panjang yang membingungkan.

Saya memilih untuk berjalan karena harapan tidak tumbuh dari penundaan. Indonesia juga harus mengambil langkah serupa agar masa depan tidak dicerna oleh ketidakpastian. Jadi sekarang pertanyaannya sederhana saja: kita mau bergerak atau tetap diam?