Hutan Papua untuk Sawit, Jalan Pintas Energi yang Mahal Sekali Tagihannya

hutan papua untuk sawit
hutan papua untuk sawit

Pada 17 Desember 2025, Presiden Prabowo kembali melempar wacana yang bikin orang Indonesia melakukan hobi nasional: debat tanpa ujung. Intinya: Hutan Papua diharapkan ditanami kelapa sawit agar bisa menghasilkan BBM, bagian dari target swasembada energi.
Di waktu berdekatan, beliau juga menyindir “orang pintar” yang menurutnya lebih suka mengkritik daripada membantu.

Masalahnya bukan pada “orang pintar” atau “orang tidak pintar”. Masalahnya pada desain kebijakan: ketika solusi energi dipatok pada ekspansi komoditas monokultur ke salah satu benteng hutan terakhir, kita sedang menukar ketahanan energi jangka pendek dengan ketahanan ekologi jangka panjang. Dan itu bukan trade-off abstrak. Itu urusan air, pangan, banjir, konflik lahan, sampai stabilitas ekonomi.

Papua bukan lahan kosong. Tanah Papua menyimpan sekitar 39 juta hektare hutan, sebagian besar masih utuh, dan berperan besar bagi iklim serta kehidupan masyarakat adat.
Jadi wacana “hutan Papua untuk sawit” bukan sekadar urusan “tanam pohon yang produktif”. Ini menyentuh fondasi kapasitas alam mendukung hidup manusia.

Mengapa ide ini muncul lagi? Karena energi, impor, dan angka-angka “hemat devisa”

Dari sisi pemerintah, logika besarnya begini:

  1. Indonesia butuh mengurangi impor BBM dan memperkuat ketahanan energi.
  2. Sawit dianggap “karunia” karena bisa diolah jadi biodiesel, bahkan klaimnya bisa jadi bensin juga (narasi politiknya begitu).
  3. Kebijakan biodiesel memang sedang makin agresif: mandatori B40 berlaku 1 Januari 2025 (campuran 40% berbasis sawit), dan ada dorongan lanjut.

Secara teknis, B40 adalah kebijakan nyata, bukan wacana. Secara politik, ia enak dijual: “hemat devisa”, “mandiri”, “nasionalisme energi”.

Tapi di sinilah jebakannya: ketahanan energi berbasis perluasan sawit biasanya mengabaikan pertanyaan paling penting: berapa biaya ekologis dan sosial per liter “BBM hijau” itu?

Deja vu 2007: “food vs fuel” itu bukan nostalgia, itu peringatan

Sejak 2007, gw udah mendebat tentang hal ini. Pada 2007, perdebatan “pangan vs energi” (food vs fuel) meledak setelah krisis harga pangan 2007–2008: biofuel dan ekspansi komoditas energi ikut menambah tekanan pada harga pangan dan sumber daya lahan. FAO sejak 2008 sudah mengingatkan: permintaan biofuel bisa menekan basis sumber daya alam dan berdampak sosial-lingkungan.
Kajian World Bank (2008) bahkan menyorot biofuel sebagai salah satu pendorong kenaikan harga pangan dan meminta kebijakan insentif biofuel dikaji ulang karena dampaknya pada harga pangan.

Di Indonesia, dorongan biofuel memang sudah lama: inisiatif dan regulasi biofuel menguat sejak pertengahan 2000-an. Artinya, kekhawatiran itu bukan “kecemasan aktivis”. Itu ada landasan sejarah kebijakan dan bukti ekonomi-politiknya.

Keuntungan jangka pendek: ada, dan memang menggoda

Mari adil dulu. Sawit dan biodiesel punya beberapa keuntungan jangka pendek yang sering jadi alasan kebijakan:

1) Substitusi impor solar dan stabilisasi pasokan

Mandatori biodiesel (B40) ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada impor diesel.

2) Lapangan kerja dan perputaran ekonomi

Ekspansi perkebunan biasanya diikuti infrastruktur, kontrak kerja, logistik, dan multiplier ekonomi lokal. (Catatan penting: siapa yang menikmati multiplier ini sering tidak merata.)

3) Pendapatan daerah dan fiskal (pajak/levy, DBH, dll.)

Ekosistem kebijakan sawit itu kompleks: ada dana sawit, insentif biodiesel, levy ekspor, dan lain-lain. Reuters mencatat kebutuhan subsidi dan wacana penyesuaian levy untuk menopang program biodiesel.

Sampai di sini, semua tampak rapi: energi lebih “mandiri”, ekonomi bergerak, negara hemat impor.

Sekarang tagihannya.

Kerugian jangka panjang: kapasitas alam itu bukan rekening tak terbatas

Kalau hutan (terutama hutan utuh) dikonversi menjadi sawit, kita kehilangan “mesin dukung kehidupan” yang kerjanya sunyi dan tidak pernah masuk pidato: pengatur air, pengunci karbon, penyangga tanah, dan penopang keanekaragaman hayati.

1) Karbon dan iklim: “energi hijau” yang bisa jadi emisi raksasa

Ekspansi sawit secara global terbukti kuat terkait deforestasi dan hilangnya biodiversitas. Kajian PLOS ONE menunjukkan ekspansi sawit sering menggantikan hutan tropis lembap dan mengancam biodiversitas serta meningkatkan emisi.

Di Indonesia, studi berbasis satelit menunjukkan hubungan antara ekspansi perkebunan dan kehilangan hutan; penurunan deforestasi 2017–2019 justru disebut peluang untuk memperkuat regulasi agar konversi tidak balik lagi ketika harga naik.

Khusus Papua, taruhannya lebih tinggi karena sebagian bentang alamnya masih relatif utuh dan berkarbon besar. WRI Indonesia menekankan Papua sebagai wilayah krusial bagi iklim dan komunitas adat, dengan stok karbon yang sangat besar.

Kalimat sederhananya: jika “BBM dari sawit” dibayar dengan deforestasi, ia bisa kalah hijau dibanding alternatif energi lain.

2) Biodiversitas: monokultur bukan pengganti hutan

Hutan Papua itu bukan sekadar “kumpulan pohon”. Ia habitat spesies endemik, jaringan ekologi kompleks, dan basis pangan serta budaya komunitas lokal. Mengubahnya menjadi monokultur sawit berarti menyederhanakan ekosistem secara brutal. Dan “brutal” di sini bukan gaya bahasa, tapi deskripsi fungsi: dari ribuan spesies menjadi satu spesies dominan.

3) Konflik lahan dan hak masyarakat adat: ketika peta negara menabrak peta hidup

Papua sudah memanas oleh konflik perizinan dan klaim tanah adat. Reuters melaporkan sengketa Awyu terkait konsesi sawit skala besar, dan putusan MA yang menolak banding komunitas adat (alasan prosedural) jadi pukulan bagi perlindungan hutan adat.

Kalau ekspansi sawit jadi agenda negara, tekanan konflik semacam ini cenderung meningkat, bukan menurun.

4) Air dan bencana: hulu-hilir itu satu tubuh, bukan dua kabupaten beda nasib

Sumatra dan konsep bioregion: banyak bencana banjir-longsor memburuk ketika kawasan hulu kehilangan tutupan dan fungsi resapannya, sementara hilir menanggung limpasan dan sedimentasi. Literatur pengelolaan DAS menekankan peran kawasan hulu sebagai daerah tangkapan dan resapan air, serta keterkaitan fungsional hulu–tengah–hilir.

Bukan berarti “satu kebijakan pemerintah” adalah satu-satunya penyebab bencana (itu terlalu simplistik). Tapi mengabaikan keterkaitan bioregion dalam tata ruang dan perizinan jelas resep klasik untuk memperbesar risiko.

Sawit monokultur dan “fisiologi tanaman”: kenapa sawit tidak bisa menggantikan fungsi hutan hulu

Aspek fisiologi tanaman sawit terhadap kemampuan kawasan hulu menjaga air. Ini bagian yang sering dilewatkan karena pembahasan publik keburu macet di “pro” vs “kontra”.

A) Akar dan struktur tanah: hutan itu jaringan, sawit itu barisan

Akar hutan alam datang dari banyak spesies, banyak kedalaman, banyak arsitektur. Itu menciptakan pori-pori tanah dan jalur infiltrasi yang kompleks.

Sawit punya sistem perakaran yang bisa menyebar cukup jauh dan mencapai kedalaman tertentu, tetapi tetap dalam konteks satu spesies dan pola kebun yang sangat dikelola (pembersihan gulma, jalur panen, alat berat). Studi tentang distribusi akar sawit menegaskan karakter morfologi akar mempengaruhi kemampuan serap air.

Masalahnya bukan “akar sawit tidak ada”. Masalahnya: ekosistem kebun sawit menciptakan pemadatan tanah, hilangnya serasah beragam, dan berkurangnya penutup tanah, sehingga fungsi resapan turun.

B) Infiltrasi dan aliran permukaan: ketika hujan berubah jadi banjir kecil yang rutin

Penelitian di Indonesia menunjukkan konversi hutan ke sawit mengubah sifat fisik tanah dan siklus hidrologi. Studi IPB membandingkan infiltrasi dan aliran permukaan pada agroforestri vs sawit monokultur, dengan kesimpulan umum: monokultur sawit berisiko memperburuk aliran permukaan dibanding sistem campuran yang lebih “berlapis”.

Di kawasan hulu, penurunan infiltrasi berarti dua hal:

  • debit puncak saat hujan lebih tinggi (air cepat lari ke sungai),
  • baseflow (aliran dasar) di musim kering berpotensi turun (karena isi ulang air tanah melemah).

Ada kajian pemodelan hidrologi yang menghubungkan proporsi tutupan hutan dengan indikator regulasi aliran seperti baseflow index, termasuk ketika tutupan digantikan perkebunan (misal sawit).

C) Transpirasi dan neraca air: sawit “minum” air dalam lanskap

Di lanskap sawit, transpirasi (penguapan lewat daun) menjadi komponen penting neraca air. Studi di Jambi meneliti transpirasi sawit berbagai umur dan konsekuensi hidrologi pada tingkat lanskap.

Ini relevan karena perubahan evapotranspirasi dapat mengubah ketersediaan air lokal, terutama saat kekeringan atau musim kering panjang.

D) Erosi dan sedimentasi: tanah hulu yang hilang, hilir yang dangkal

Pembukaan lahan, jalan kebun, dan minimnya penutup tanah meningkatkan risiko erosi, terutama di kemiringan tertentu. Ada studi-studi yang menyorot kontrol erosi di kebun sawit dan bagaimana praktik konservasi tanah mempengaruhi limpasan dan erosi.

Kalau erosi meningkat, hilir menanggung sedimentasi: sungai dangkal, banjir lebih sering, kualitas air turun.

Ringkasnya: secara fisiologis dan ekologis, sawit tidak punya “arsitektur ekosistem” untuk menggantikan hutan hulu. Ia bisa jadi tanaman produktif, tapi bukan mesin regulasi air sekelas hutan alam.

“Hutan untuk sawit” sebagai strategi energi: masalah matematikanya ada di skala

Ada satu pertanyaan sederhana yang sering ditutup dengan pidato: seberapa besar lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambisi energi?

Karena permintaan energi tumbuh seiring populasi dan ekonomi, pendekatan “tambah kebun” cenderung menjadi treadmill:

  • kebutuhan naik → kebun diperluas → dampak ekologis naik → krisis sosial-lingkungan naik → biaya negara naik (penanganan bencana, konflik, kesehatan, infrastruktur rusak) → kebutuhan energi tetap naik.

Dan ketika pemerintah sudah masuk ke jalur ini, biasanya sulit berhenti karena terlalu banyak pihak keburu menggantungkan keuntungan pada ekspansi.

Alternatif yang lebih masuk akal: energi tanpa mengorbankan benteng hutan terakhir

Kalau targetnya benar-benar ketahanan energi (bukan sekadar ekspansi komoditas), opsi kebijakannya tidak harus “Papua jadi kebun”.

1) Intensifikasi dan replanting, bukan ekspansi hutan

Produktivitas kebun rakyat sering jauh di bawah potensi. Replanting dan perbaikan praktik budidaya bisa menaikkan produksi tanpa membuka hutan baru. Ini juga sejalan dengan kebijakan “rapikan yang sudah ada dulu” ketimbang “buka yang belum dibuka”.

2) Arahkan ekspansi (kalau pun ada) ke lahan terdegradasi, bukan hutan utuh

Ini bukan slogan. Ini prinsip paling minimal untuk mengurangi kerusakan: jangan sentuh hutan primer/utuh, apalagi di Papua yang perannya besar bagi iklim dan komunitas lokal.

3) Geser porsi energi ke sumber yang benar-benar rendah dampak lahan

Biodiesel bisa jadi bagian transisi, tapi jangan dijadikan tulang punggung tunggal. Energi terbarukan lain (surya, angin, panas bumi) tidak menuntut konversi bentang alam hutan dalam skala yang sama.

4) Perkuat tata kelola: FPIC, transparansi izin, dan pendekatan bioregion/DAS

Kalau pemerintah ingin “dibantu”, maka kebijakan harus didesain supaya bisa dibantu: terbuka pada data, audit izin, pengakuan wilayah adat, dan tata ruang berbasis fungsi ekologis hulu–hilir. Konflik Awyu menunjukkan betapa rentannya sistem ketika konsultasi dan perlindungan hak tidak kuat.

Penutup: swasembada energi tidak boleh jadi alasan menurunkan standar peradaban

Menanam sawit di Papua demi energi itu terlihat seperti solusi cepat, tapi ia punya pola lama: mengambil modal alam untuk menutup masalah jangka pendek, lalu mewariskan tagihan ke generasi berikutnya dalam bentuk banjir, konflik, hilangnya pangan lokal, dan krisis iklim.

Swasembada energi yang matang seharusnya berbunyi begini:
energi aman, rakyat sejahtera, dan hutan (terutama yang masih utuh) tidak dijadikan “deposito darurat” setiap kali negara butuh angka.

Kalau pemerintah sungguh ingin dibantu, maka yang dibutuhkan bukan memusuhi kritik, tapi membangun kebijakan yang tahan uji: data kuat, tata kelola kuat, dan hormat pada kapasitas alam. Karena pada akhirnya, alam selalu menang. Biasanya lewat cara yang mahal dan tidak sopan.