Mikroplastik, Dari Sungai ke Laut, dari Laut ke Meja Makan

Mikroplastik, Dari Sungai ke Laut, dari Laut ke Meja Makan
Mikroplastik, Dari Sungai ke Laut, dari Laut ke Meja Makan

Pernah nggak sih kamu lihat sungai yang warnanya udah lebih mirip kopi susu ketimbang air? Kadang kita cuma lewat, ngeluh sebentar soal baunya, lalu jalan terus. Tapi yang kita lupa: Mikroplastik Dari Sungai ke Laut, dari Laut ke Meja Makan, semua yang kita buang hari ini, pelan-pelan, bisa balik lagi — lewat ikan yang kita goreng, atau garam yang kita tabur.

Ketika Laut Nggak Lagi Asin Sendirian karena Mikroplastik

Setiap tahun, Indonesia nyumbang sekitar 3,2 juta ton sampah plastik ke laut (World Bank, 2022). Delapan puluh persen di antaranya datang dari sungai — yang isinya botol minuman, bungkus mi instan, sedotan, atau plastik belanja yang katanya “cuma satu kali pakai.”
Dan begitulah, laut jadi museum besar dari semua kebiasaan kecil yang kita anggap sepele.

Masalahnya, laut nggak punya mulut buat bilang “berhenti.” Plastik yang sampai ke sana nggak lenyap, dia cuma berubah bentuk — jadi mikroplastik, serpihan halus yang kadang lebih kecil dari sebutir garam.
Dan tahu siapa yang makan duluan? Ikan.
Dan tahu siapa yang makan ikan? Ya, kita lagi.

Penelitian LIPI (2021) nunjukin mikroplastik udah ada di 28% ikan laut yang dijual di pasar Indonesia. Dari tongkol sampai kembung — semuanya. Bahkan garam laut kita pun udah ketemu jejak plastiknya. Jadi kalau kamu pikir cuma laut yang kotor, tubuh kita juga mulai jadi arsip kecil dari sampah-sampah itu.

Mikroplastik Dalam Bentuk Kartu ATM di Perut Kita

Kedengarannya lucu, tapi faktanya agak ngeri ini Bung. Riset Universitas Hasanuddin (2022) bilang, rata-rata orang Indonesia bisa “menelan” satu kartu ATM atau 5 gram mikroplastik tiap minggu.

Jadi, kalau kamu suka makan ikan laut, minum air kemasan, dan pakai garam meja, selamat — kamu mungkin sedang jadi kolektor plastik tanpa sadar.

Yang lebih parah, mikroplastik itu bukan cuma benda mati. Dia nempel sama bahan kimia berbahaya — kayak BPA, pestisida, dan logam berat. Dalam jangka panjang, bisa ngacauin hormon, bikin peradangan, bahkan nyerempet ke masalah kesuburan dan kanker.
Dan karena dia mikroskopis, kita nggak bisa bilang “nggak mau makan yang ada plastiknya” di warung. Nggak ada label “bebas mikroplastik” di menu nasi padang, bro.

Laut yang Balas dengan Diam

Ada hal ironis di sini. Kita sering pikir laut itu tempat yang luas, yang bisa nerima semua. Tapi sekarang laut justru lagi balas — dengan diam.

Menurut UNEP (2023), kalau kita nggak berubah, 150 juta ton plastik bakal mengapung di laut pada 2025.

Dan sebagian besar akan masuk ke rantai makanan laut — artinya, dari ikan ke tubuh manusia. Dari laut, balik lagi ke darat. Dari kita, balik lagi ke kita.

Sungai-sungai yang tersumbat di kota bukan cuma bikin banjir. Mereka juga ngirim pesan pelan-pelan lewat arus: “hei, semua yang kamu buang, lagi dalam perjalanan pulang.”

Yang Perlu Kita Bersihkan Bukan Cuma Laut

Membersihkan pantai itu bagus. Tapi kalau sampahnya masih terus lahir dari daratan, laut cuma jadi tempat penampungan terakhir. Jadi, mungkin langkah pertama bukan sapu laut, tapi sapu kebiasaan.

Mulai dari hal kecil — nggak usah muluk. Bawa botol sendiri. Pilah sampah. Dukung kebijakan yang bikin sistem daur ulang beneran jalan.

Karena kalau kita terus nunggu orang lain, ya plastiknya juga nggak nunggu — dia tetap mengalir.

Kita udah terlalu lama berpikir laut bisa menelan semuanya. Sekarang laut yang balik ngasih pelajaran: kalau kita buang sembarangan, alam juga bisa mengembalikan tanpa peringatan.