Moratorium Hutan dan Dosa Ekologis

moratorium hutan dan dosa ekologis
moratorium hutan dan dosa ekologis

Sejak 2003, gue sudah bawel soal satu hal yang bikin pejabat dan pengusaha tiba-tiba alergi logika: moratorium hutan. Ide yang sangat sederhana, tapi entah kenapa bunyinya di telinga mereka seperti ancaman terhadap tumpukan cuan yang sudah mereka rawat penuh kasih sayang.

Gue cuma bilang: berhenti tebang hutan alam dan pakai kayu dari hutan tanaman sendiri. Terus hentikan perubahan status kawasan hutan dan stop segala bentuk izin baru selama masa moratorium. Setelah itu lakukan audit supply–demand industri kayu, biar ketahuan mana kayu beneran, mana kayu yang muncul dari keajaiban sulap industri.

Balasannya? Tawa. Tawa panjang.

Tawa dari penguasa, pengusaha, dan bahkan sebagian aktivis yang mungkin terlalu sibuk mengelus proposal donor sampai lupa membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan lembaganya.

Ada yang bilang moratorium hutan bisa “mengganggu periuk nasi rakyat.” Ada yang lebih kreatif bilang ini mengancam ekonomi nasional. Ada juga yang bersikeras memperkuat rantai pasok kayu seolah masalahnya cuma soal manajemen logistik. Padahal maling tetap maling, meskipun rantainya dilapisin emas dan diberi barcode.

Fenomena paling menarik dalam sejarah republik ini selalu sama: begitu ada ide yang menyenggol jantung rente, semua orang berubah jadi juru bicara “rakyat kecil,” walaupun mereka sendiri tidak pernah antre beli beras, tidak pernah kena lumpur sampai lutut, dan tidak pernah gelisah tiap kali hujan turun deras sedikit.

Rapat-rapat ber-AC tempat keputusan diambil tidak pernah dihadiri petani. Yang duduk di sana adalah pemilik konsesi dan pejabat yang hafal angka PDB, tapi tidak pernah hafal kedalaman lumpur di halaman rumah warga.

Lalu waktu berjalan. Dan seperti biasa, alam tidak ikut main komedi bersama mereka.

Satu dekade lebih setelah ide moratorium hutan dicemooh, bencana datang seperti daftar hadir yang tidak pernah absen.

Mandailing Natal 2018: banjir bandang menghantam sekolah, anak-anak wafat di ruang belajar mereka sendiri.

Bengkulu 2019: longsor dan banjir memutus jalan dan jembatan, memutus harapan banyak keluarga.

Solok Selatan 2019: rumah-rumah terseret air, nagari terendam, hidup orang berubah dalam satu malam yang panjang.

Setidaknya tujuh bencana besar tercatat, dan ratusan titik bencana kecil lain ikut menyusul. Penyebabnya tidak perlu seminar internasional untuk dijelaskan: tutupan hutan hilang, maka air masuk tanpa permisi.

Masuk 2025, Aceh, Sumut, dan Sumbar mempertegas semuanya. Sungai membawa lumpur dan kayu gelondongan tanpa sensor. Tanah bergerak seperti sedang protes terlambat bayar utang. Bukan metafora, ini literal. “Kompilasi dosa ekologis” bukan sekadar istilah puitik, tapi laporan kondisi sebenarnya.

Sekarang kita coba pakai matematika yang diajarkan SD saja. Keuntungan industri kayu, tambang, dan sawit selama dua dekade terakhir mencapai triliunan.

Kerugiannya?
Rumah hancur, sekolah rusak, lahan pertanian hilang, orang kehilangan anak, anak kehilangan orang tua, dan trauma yang tidak lulus dalam hitungan tahun.

Gue belum pernah menemukan rumus akuntansi yang bisa mengonversi satu nyawa menjadi laba bersih. Tidak ada grafik ekonomi yang bisa menjelaskan bagaimana air bah masuk ke kamar tidur lalu diberi label “risiko pembangunan.” Kalau ini risiko, kenapa yang menanggung justru mereka yang tidak ikut menghitung untungnya?

Dan ketika ada yang bertanya, “Bukankah ada keuntungan ekonomi dari pembukaan hutan?” Jawabannya sudah sesederhana marahnya alam:

Kalau keuntungan itu tidak mampu mencegah satu pun banjir bandang, tidak menyelamatkan satu pun nyawa, dan tidak mengembalikan satu pun rumah, maka itu bukan keuntungan. Itu cuma subsidi kematian yang dibayar rakyat untuk menutup kerakusan segelintir orang yang dulu menertawakan ide moratorium hutan.

Lucunya, setelah bencana datang bertubi-tubi, orang-orang yang dulu menertawakan itu sekarang tampil di kamera sambil membawa karung beras, memakai rompi “anti ludah,” dan berkata, “Kita semua kaget.”

Kaget dari mana?

Mereka bukan kaget karena tidak tahu, mereka kaget karena kini tak bisa pura-pura bahwa moratorium hutan berarti moratorium cuan.

Pada akhirnya, alam selalu jadi pengingat paling kejam dan paling jujur.

Refleksi

Setiap bukit gundul itu seperti alarm yang sudah lama berbunyi. Kita cuma pura-pura tidak dengar. Sungai, tanah, dan hujan selalu menagih kesalahan yang kita biarkan.

Jadi pertanyaannya cuma satu: mau sampai kapan kita membiarkan tawa mereka mengubur rumah, masa depan, dan hidup kita?

Mau sampai kapan kita biarkan ide moratorium hutan dianggap lelucon, padahal yang tenggelam bukan mereka, tetapi kita