Kadang kita ngerasa kepala udah mau meledak — tugas numpuk, dunia makin absurd, politisi betingkah, dan masa depan kayak file yang belum disave. Tapi ternyata, bukan cuma kita yang lagi overthinking, Bumi juga. Bedanya, kalau kita masih bisa curhat di Twitter, Bumi cuma bisa melepaskan napasnya lewat badai, panas ekstrem, dan hujan yang datang nggak karuan.
Menurut BMKG, suhu rata-rata di Jakarta naik lebih dari 1,5 derajat Celsius dalam 30 tahun terakhir. Itu bukan angka sepele. Kenaikan sekecil itu udah cukup buat bikin udara lebih pengap, kualitas air menurun, dan kesehatan mental ikut terguncang.
Lebih dari 85 persen anak muda Indonesia mengaku krisis iklim berdampak langsung ke hidup mereka — dari gagal panen di kampung halaman, panas yang ekstrem sampai banjir yang udah jadi agenda tahunan di kota.
Ketika Panas Nggak Lagi Sekadar Cuaca
Dulu panas itu tanda siang. Sekarang, panas itu tanda peringatan. Di Nusa Tenggara Timur, musim kering makin panjang, bikin petani muda kehilangan waktu tanam.
Di kota besar, panas ekstrem bikin aktivitas luar ruangan terbatas — bahkan, riset UI dan Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan kasus heat stress dan ISPA di kalangan anak muda perkotaan sejak 2022.
Kita tumbuh di era di mana ngeluh soal cuaca bukan lagi basa-basi. Ini soal bertahan. Kalau dulu overthinking soal karier, sekarang juga soal: “Bakal ada air bersih nggak 10 tahun lagi?”
Eco-Anxiety: Cemas yang Valid
Ada istilah yang makin sering muncul: eco-anxiety, atau kecemasan terhadap masa depan planet. Ini bukan cuma istilah barat, bung — di Indonesia, survei IPC–ASI 2023 menunjukkan 7 dari 10 anak muda merasa khawatir pada krisis iklim, dan lebih dari separuhnya bilang itu bikin mereka kehilangan motivasi jangka panjang.
Tapi ini bukan tanda kelemahan. Ini tanda kita masih peduli.
Dan kepedulian itu, kalau diarahkan dengan benar, bisa jadi bahan bakar perubahan.
Dari Cemas Jadi Gerak
Di banyak tempat, anak muda Indonesia mulai ngebuktiin hal itu.
Di Bali, komunitas lokal bikin Festival Air buat edukasi krisis air bersih.
Di Bandung, gerakan muda Jalan Tanpa Asap ngajak warga ngurangin polusi lewat transportasi publik.
Di Makassar, anak muda bikin kampanye bersih pantai setiap bulan.
Mereka nggak nunggu dunia berubah. Mereka mulai duluan.
Dari aksi kecil lahir gelombang besar — yang nggak selalu trending, tapi nyata di lapangan.
Dari Overthinking ke Overacting
Kita semua pernah ngerasa kecil di tengah isu sebesar planet. Tapi perubahan besar justru lahir dari langkah-langkah kecil yang konsisten.
Mulai dari hal sederhana: kurangi plastik sekali pakai, tanam pohon, hemat air, pilih transportasi umum, atau sekadar ngobrolin isu iklim dengan teman.
Karena obrolan kecil hari ini bisa jadi kesadaran kolektif besok.
Refleksi Kecil
Kalau Bumi bisa ngomong, mungkin dia bakal bilang:
“Aku nggak marah, cuma capek.”
Dan kita? Kita masih punya pilihan. Mau terus overthinking, atau mulai overacting — bukan dalam drama, tapi dalam aksi nyata.
Leave a Reply