Perjanjian Paris, SDGs, dan realita di lapangan apakah seluruh formalitas internasional ini telah kehilangan makna?
Halo Genk Perubahan Iklim
Selamat bertemu kembali dalam “Dunia Yang Berubah, Panas yang tidak Bisa Diabaikan”, tempat obrolan kritis tentang masa depan bumi dan ketimpangan yang mengiringinya.
Tema kita kali ini adalah perjanjian-perjanjian iklim internasional. Dari mulai Rio ke Kyoto, Paris sampai Glasgow. Tapi, dengan suhu bumi yang terus naik, banjir dan kekeringan makin parah—apakah semua ini masih relevan? Atau hanya jadi formalitas internasional yang kehilangan makna?
Genk, perjanjian iklim adalah hasil dari diplomasi panjang negara-negara dunia sejak tahun 1992, saat KTT Bumi di Rio de Janeiro melahirkan UNFCCC — sebuah kerangka kerja untuk menanggulangi perubahan iklim.
Beberapa tonggak perjanjian yang dihasilkan diantaranya adalah :
- Protokol Kyoto (1997) yang mengikat negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tapi AS menolak ratifikasi. Kanada keluar. Dan beberapa negara justru menaikkan emisi.
- Paris Agreement (2015), yang disepakati oleh 196 negara. Targetnya menjaga kenaikan suhu bumi “jauh di bawah 2°C” dengan ambisi ideal di 1,5°C. Tapi perjanjian ini tidak mengikat secara hukum. Setuju tapi tidak mengikat. Sepakat tapi boleh tidak dilaksanakan.
Kenyataan Emisi Saat Ini
Sejalan dengan perjanjian-perjanjian tersebut, emisi global memiliki kecenderungan untuk terus naik meski negara-negara yang menandatangani perjanjian iklim semakin banyak.
Beberapa data yang saya kutip dari Global Carbon Project tahun 2023 menyebutkan bahwa emisi karbon dunia pada 2023 mencapai 36,8 miliar ton—ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah
Lalu ada peningkatan emisi sebanyak 6 persen sejak sejak Perjanjian Paris disepakati.
Antara Janji vs Aksi
Ada begitu banyak negara membuat komitmen iklim atau disebut dengan NDC atau Nationally Determined Contributions. Tapi kenyataannya. Australia misalnya berjanji net-zero pada 2050, tapi tetap buka tambang batubara baru.
Ada jepang yang membangun lebih dari 20 PLTU batu bara pasca Paris Agreement
Sementara komitmen Indonesia atau NDC kita relatif moderat. Net Zero kita ada pda tahun 2060, bukan 2050 sebagaimana negara lain.
Meskipun ini harus disambut baik, namun saya pribadi kurang setuju bila kita juga harus ikut menandatangani Net-Zero apabila janji-janji negara maju terkait alih tehnologi dan dana hidah tidak segera direalisasikan.
Masih Perlukah Perjanjian Iklim?
Jawabannya: ya, tapi dengan catatan huruf kapital “HARUS DIPERBAIKI’
Perjanjian iklim tetap penting karena memberi kerangka koordinasi internasional, menjadi dasar advokasi masyarakat sipil dan untuk menakan negara-negara maju termasuk negara kita untuk membuat target iklim nasional.
Tapi perjanjian yang lemah, tanpa penegakan, tanpa sanksi, dan tanpa perspektif keadilan hanyalah sebuah dokumen usang dan simbolik.
Sampai disini kita belajar dan menjadi tahu bahwa banyaknya perjanjian iklim tidak berarti efektif di realitanya. Kita butuh perjanjian yang berani, menjawab realitas, dan yang berpihak pada masyarakat paling terdampak.
Sampai jumpa di episode selanjutnya.
Jangan diam—karena diam di tengah krisis iklim adalah bentuk dukungan terhadap status quo.
Leave a Reply