Ketika nama “PLTN di Pulau Kelasa” mulai muncul dalam wacana transisi energi Indonesia, kita tidak sedang menyaksikan terobosan teknologi, melainkan lembar baru dari cerita lama: bagaimana riset kehilangan nurani, dan bagaimana universitas bisa menjadi alat pembenar proyek yang berisiko. Pulau kecil ini—tak banyak dikenal, minim sorotan media—tiba-tiba dimasukkan ke dalam agenda besar nuklir nasional, dengan dalih “mayoritas warga mendukung”. Tapi benarkah begitu?
Riset yang seharusnya menjadi cahaya justru mengaburkan. Bukan menjelaskan, tapi menyesatkan. Bukan mendengarkan masyarakat, tapi menulis ulang kehendak mereka agar cocok dengan agenda pembangunan.
Data yang Bicara Sesuai Keinginan
Sebuah survei dari Universitas Sebelas Maret (UNS) mengklaim bahwa 83 persen masyarakat Bangka Belitung mendukung pembangunan PLTN di Pulau Kelasa. Tanpa disertai penjelasan tentang siapa pendana survei, bagaimana metode wawancaranya, atau apakah responden diberikan informasi utuh tentang bahaya PLTN, hasil itu kemudian disebarluaskan sebagai “suara rakyat”.
Inilah bentuk baru dari riset kehilangan nurani—bukan lagi alat untuk memahami kenyataan, melainkan instrumen legitimasi. Kampus berubah peran: dari ruang intelektual menjadi tangan kanan kekuasaan. Kita sedang menyaksikan bagaimana riset bermasalah bisa dipakai untuk menghapus keraguan publik, memoles bahaya jadi solusi, dan menyingkirkan suara yang tak sesuai skenario.
Kampus dan Kekuasaan: Siapa Menyuapi, Siapa Menyuarakan?
Transparansi bukan sekadar etika akademik—ia adalah syarat minimum kepercayaan. Tanpa informasi siapa yang membiayai survei soal PLTN di Pulau Kelasa, publik berhak curiga: apakah riset ini dibuat untuk menjawab pertanyaan penting, atau hanya menjawab pesanan?
Model riset seperti ini bukan pertama. Dalam banyak proyek ekstraktif—tambang, bendungan, jalan tol—kita melihat pola serupa: riset dikerahkan bukan untuk menguji kekuasaan, tapi untuk membungkusnya. Kampus menjadi corong, bukan cermin. Ilmu kehilangan daya kritis, hanya menjadi pengantar slide presentasi pejabat.
Di titik ini, kampus dan kekuasaan menjadi pasangan yang sulit dipisahkan.
Transisi Energi atau Ekstraktivisme Baru?
PLTN sering disebut sebagai bagian dari “transisi energi”. Tapi transisi macam apa yang dibangun dengan cara mengorbankan pulau kecil, meminggirkan warga lokal, dan memaksakan teknologi yang mahal serta penuh risiko?
PLTN di Pulau Kelasa bukan hanya soal energi, tapi soal siapa yang memutuskan, siapa yang menerima risikonya, dan siapa yang tak pernah diajak bicara. Ini bukan transisi, ini ekstraktivisme baru yang dibungkus dalam jargon hijau.
Dan ironisnya, riset akademik yang seharusnya jadi pengawal nalar publik malah dipakai untuk mempercepat prosesnya.
Dari Nurani ke Alat Legitimasi
Pertanyaan penting: apakah warga benar-benar memahami konsekuensi PLTN? Apakah mereka tahu tentang limbah radioaktif yang tak bisa diurai, tentang bahaya radiasi yang bisa bertahan puluhan tahun, tentang sejarah kecelakaan nuklir di berbagai negara?
Kalau tidak, maka “persetujuan” mereka bukanlah hasil deliberasi demokratis, tapi hasil manipulasi informasi. Dan bila itu terjadi dengan stempel akademik, maka kita tak hanya menyaksikan riset kehilangan nurani, tapi juga ilmu yang kehilangan jiwa.
Penutup: Siapa yang Akan Mendengar Pulau Kelasa?
Warga Pulau Kelasa tak punya mikrofon nasional. Mereka tak bisa mempublikasikan jurnal, tak tahu cara menulis opini di media. Tapi mereka punya hak untuk tahu, untuk didengar, dan untuk memutuskan.
Kalau riset terus-menerus dijalankan tanpa keberpihakan etis, maka universitas bukan lagi tempat belajar kebenaran—tapi tempat menyembunyikannya.
Ilmu yang benar tak menenangkan kekuasaan, tapi menantangnya. Ia bukan penghibur rezim, tapi penjaga nurani publik.
Leave a Reply