Politik Iklim Indonesia

Politik Iklim Indonesia
Politik Iklim Indonesia

Politik Iklim Indonesia adalah pokok bahasan yang cukup penting. Tujuannya untuk membuka mata kita bahwa Indonesia bukan hanya korban perubahan iklim—tetapi juga aktor penting yang punya posisi strategis dalam negosiasi dan aksi global.

Pertanyaannya kemudian, apakah kita hanya penonton? Atau justru pemain strategis yang bisa menentukan arah transisi energi global? 

Apakah suara kita didengar, atau tenggelam di tengah gemuruh negara-negara besar?

Indonesia—Negara Kaya Alam dan Emisi Menengah

Indonesia adalah negara dengan kekayaan biodiversitas terbesar kedua di dunia, memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga setelah Amazon dan Kongo.

Tapi, dari sisi emisi, Indonesia menyumbang sekitar 1,6% emisi global dan ada di peringkat ke-9 emisi terbesar dunia bila menghitung perubahan tutupan lahan, terutama dari deforestasi dan kebakaran gambut.

Jadi, kita itu di satu sisi disebut “paru-paru dunia.” Di sisi lain, kita juga menghadapi tekanan sebagai negara penghasil emisi besar dari sektor pertanian, energi, dan kehutanan.

Peran Indonesia di Forum Global

Indonesia memang aktif dalam negosiasi iklim internasional. Kita itu anggota aktif UNFCCC sejak awal, tuang rumah COP13 di Bali (2007) — tempat dilahirkannya Bali Roadmap, langkah awal menuju Perjanjian Paris, dan pendiri dan pemimpin G77+China — sebuah blok negosiator negara berkembang terbesar di PBB

Tapi, kita itu belum menjadi pemimpin opini dalam diplomasi iklim. Kita juga dianggap lembek, moderat dan tidak terlalu progresif, tapi juga tidak terlalu konservatif.

Energi Fosil dan Dilema Transisi

Masalah terbesar kita adalah ketergantungan kita pada batu bara.Kita adalah eksportir batubara terbesar kedua di dunia dan 60% listrik kita masih berasal dari batubara.

Kenyataan ini jadi sangat membingungkan dan begitu menantang nyali mengingat lebih dari separuh jajaran eksekutif dan legislative kita terlibat pada bisnis energi kotor ini.

Kita juga menghadapi kepentingan ekonomi daerah penghasil batubara seperti Kalimantan dan Sumatera.

Dengan situasi seperti ini, tidak heran bila investasi untuk energi terbaharukan baru menyentuh 0,6% dari PDB tahun 2022. 

Itu sebabnya, dalamkancah politik global, Indonesia lebih memilih bermain aman. Lembek dan tidak progresif, tapi tidak konservatif. Gimana tuh. 

Kita lebih mengedepankan transisi bertahap dan bukan drastic, dan mendorong munculnya pendanaan iklim dari negara maju (Just Energy Transition Partnership – JETP)

Hutan, Sawit, dan Diplomasi Adaptasi

Pada issue kehutanan, kita punya posisi penting melalui skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). 

Ini muncul karena 63% dari wilayah daratan Indonesia adalah hutan Ironisnya, dalam 20 tahun terakhir, lebih dari 27 juta hektar hutan hilang—setara gabungan Inggris dan Portugal atau 6 kali lapangan sepakbola setiap menit..

Harus diakui, Sawit, HTI, dan tambang jadi kontributor utama deforestasi hutan alam Indonesia.

Apa yang Bisa Kita Goyang dan Mainkan?

Indonesia bisa jadi pemimpin Global South dalam hal: Transisi energi terjangkau, Diplomasi keadilan iklim, Akses pendanaan adaptasi dan Loss & Damage dan Model konservasi berbasis komunitas

Kita punya pengalaman lokal luar biasa terkait Komunitas adat yang menjaga hutan adat, ada banyak contoh desa tangguh bencana dan ada begitu banyak inisiatif energi terbarukan skala kecil di NTT, Papua, Jawa Barat

Yang dibutuhkan adalah penguatan suara masyarakat sipil dan pengambilan posisi politik yang berani.

Indonesia bukan negara kecil dalam krisis iklim.

Kita berada di garis depan dampak, tapi juga punya sumber daya dan potensi kepemimpinan.

Yang perlu dipastikan adalah kita tidak hanya hadir di forum global, tapi juga membawa kepentingan rakyat dan bumi dalam negosiasi.

Kita tidak perlu mengikuti arahan negara besar, melainkan membangun jalan sendiri menuju keadilan iklim.

Sampai jumpa di episode selanjutnya. Tetap kritis, tetap peduli, karena bumi tidak sedang baik-baik saja.