Yang kaya buang emisi, kedengarannya seperti kecemburuan ya. Namun inilah fakta yang terjadi dalam realitas krisis iklim.
Kali ini kita beranjak dari hal-hal yang bersifat pengetahuan umum dari Perubahan Iklim ke Issue yang lebih lebar lagi yakni Ketimpangan dan Politik Iklim.
Ini adalah topik yang sering kali diabaikan dalam percakapan iklim dan cenderung tabu bila melibatkan negara-negara utama dunia.
Pokok bahasan kita kali ini adalah, negara kaya banyak emisi, negara miskin yang menderita.
Bila kita melihat 10 negara terdampak paling besar dari perubahan iklim, kita akan mendapati Afganistan, Somalia, Chad, Bangladesh, Pakistan dan kita Indonesia. Bisa dikatakan, 10 negara teratas yang merasakan dampak adalah negara berkembang.
Kenapa negara-negara miskin yang paling menderita akibat krisis iklim, padahal mereka bukan penyebab utamanya?
Jejak Emisi Siapa yang Terbesar?
Mari kita mulai dengan kenyataan bahwa krisis iklim ini bukan disebabkan oleh semua negara secara merata. Tapi terutama oleh negara-negara kaya dan industri maju.
USA mislnya menyumbang 20% dari total emisi historis CO₂ dunia, Uni Eropa menyumbang 17% dan disusul dengan China yang merupakan emitter terbesar tahunan. Carbon Brief (2023)
Sementara itu negara-negara miskin—termasuk di Afrika, Asia Tenggara, dan Pasifik—hanya menyumbang kurang dari 10% emisi global, meskipun dihuni oleh lebih dari separuh populasi dunia.
Dan di sinilah letak ketimpangannya. Yang mengemisi banyak bukan yang paling menderita.
Dampaknya Tidak Merata
Krisis iklim berdampak pada semua orang. Tapi kalau mau jujur, level penderitaannya yang berbeda.
Kenapa? Karena negara kaya bisa membangun tanggul, sistem pendingin, teknologi adaptasi. Sementara negara miskin masih berjuang dengan banjir, kekeringan, dan gagal panen.
Ada satu data dari IPCC atau international panel for climate change yang menyebutkan bahwa negara-negara berpendapatan rendah dan menengah menghadapi lebih dari 90% korban jiwa akibat bencana iklim.
Mereka juga mengalami kerugian ekonomi hingga 5-10% dari PDB, dibandingkan <1% di negara maju.
Bagaimana dengan Indonesia
Indonesia, walaupun bukan negara termiskin, termasuk negara berkembang yang sangat terdampak. Kita bisa lihat beberapa kejadian dampak dari perubahan iklim seperti banjir rob di Semarang dan pantura akibat naiknya muka laut, cerita petani di NTT dan NTB yang mengalami kesulitan dalam memprediksi musim tanam dan masih banyak lagi.
Padahal lagi, kontribusi kita terhadap emisi global hanya sekitar 1.6%.
Tahun 2009, negara-negara maju di COP15 berjanji akan memberikan $100 miliar per tahun untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi perubahan iklim.
Sampai tahun 2023, janji ini belum terpenuhi.
Laporan Oxfam menyebutkan bahwa meskipun ada bantuan itu lebih bersifat utang dan bukan hibah. Ini artinya kita dipaksa berhutang untuk menyelesaikan masalah yang bukan kita ciptakan.
Keadilan Iklim
Dengan kondisi seperti ini, mau tidak mau kita akan mempertanyakan dan mendesak sebuah keadilan iklim.
Sederhananya begini:
- Yang paling bertanggung jawab harus membayar paling banyak
- Yang paling terdampak harus diberi ruang suara dan bantuan
- Solusi iklim harus adil, tidak hanya teknokratis
Tanpa keadilan iklim, maka transisi menuju energi bersih sebagaimana yang mereka minta, termasuk juga adaptasi dan mitigasi akan jadi beban baru bagi negara-negara miskin.
Sahabat Gelora, perubahan iklim bukan cuma soal cuaca — tapi soal ketimpangan global yang sudah berlangsung selama berabad-abad.
Kita semua harus bersuara, supaya perubahan yang dibangun bukan cuma rendah karbon, tapi juga tinggi keadilan.
Negara-negara kaya harus bertanggung jawab.
Kita harus menekan negara maju. Mereka wajib membayar climate reparations — bukan cuma janji, bukan sekadar komitmen diplomatik.
Suara kita harus dominan dalam forum seperti COP.
Kita di Indonesia bisa:
- Kawal ekspansi batu bara
- Dorong transisi adil (just transition)
- Perkuat posisi dalam negosiasi internasional
“Yang membuang dan yang menanggung, jelas tak sama. Kita tidak bicara soal utopia, kita bicara soal hak. Hak untuk hidup di planet yang layak, hak untuk keadilan, hak untuk masa depan.”
Sampai jumpa di episode berikutnya dari Dunia Yang Berubah, Panas Yang Tak Tertahankan
Leave a Reply