Carbon sink adalah salah satu istilah perubahan iklim yang demikian menyesatkan dan menjadi pembenaran bagi industri fossil fuel
Setelah kita membahas net zero yang seringnya cuma nol besar dan carbon offset yang seperti “sedekah emisi beraroma pura-pura”, kita kini sampai di topik ketiga:
Carbon Sink, si penyerap dosa umat manusia.
Bayangkan Dunia sebagai Toilet. Jujur aja, carbon sink itu mirip toilet rumah.
Dia menampung semua buangan—dari CO2 sampai CH4. Selama ini kita pikir: “Selama bisa disiram dan hilang dari pandangan, berarti aman.”
Padahal… sama seperti toilet rumah…Kalau terus-menerus dipakai tanpa pernah diperbaiki …cepat atau lambat, meledak juga.
Apa itu Carbon Sink?
Sederhananya: Carbon sink adalah sistem alam yang mampu menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskannya.
- Hutan (terutama hutan tropis seperti di Amazon dan Indonesia)
- Lautan dan ekosistem pesisir
- Tanah dan lahan gambut
Mereka ini yang selama ini jadi tumbal alami krisis iklim. Kita buang emisi semaunya…dan mereka yang disuruh bersihin.
Setiap tahun, dunia menghasilkan ±40 miliar ton CO2.
Dari jumlah itu:
- Laut menyerap ±26%
- Hutan dan tanah menyerap ±28%
- Sisanya? Tetap mengendap di atmosfer… bikin bumi makin gerah.
Artinya, Meski sink alami ini bekerja 24/7 tanpa cuti, mereka gak sanggup lagi ngejar laju emisi kita.
Dan yang bikin ngeri, menurut Nature (2021), kemampuan hutan tropis Amazon sebagai carbon sink mulai runtuh.
- Hutan Amazon menyerap sekitar 2 miliar ton CO₂ per tahun, tapi deforestasi bikin kapasitasnya terus menurun.
- Indonesia punya 36% cadangan gambut dunia, yang menyimpan lebih dari 30 miliar ton karbon.
Yang tidak pernah diungkapkan kemudian adalah
- Hutan yang disebut “carbon sink” bisa berubah jadi “carbon source” saat terjadi deforestasi atau kebakaran.
- Lautan makin jenuh menyerap karbon, dan ini mengakibatkan pengasaman laut.
Lautan menyerap sekitar 25% dari emisi CO₂ global tiap tahun, tapi kemampuannya menurun karena pengasaman laut, salah satunya akibat 55 juta ton sampah plastic yang masuk ke laut setiap tahunnya… Studi terbaru menyebutlan pada tahun 2050, akan lebih banyak sampah plastic disbanding ikan dilaut.
Masalahnya? Banyak negara kaya bilang:
“Tenang, emisi kami tinggi, tapi hutan kalian bisa menyerapnya.”
Artinya, Mereka ngebut di tol, kita yang jadi rem tangan.
Dan lebih parah lagi, ada yang mulai menghitung laut dan terumbu karang sebagai carbon sink resmi, padahal belum ada metode akuntansi karbon laut yang kredibel.
Siapa yang Paling Bergantung?
Negara-negara emitor besar suka banget pakai istilah carbon sink untuk:
- Menjustifikasi emisinya
- Menghitung ulang janji net zero
- Ngeles dari tanggung jawab nyata
Masalah Etika, Hutan Siapa, Beban Siapa?
Yang menarik adalah:
Negara-negara Global North (kaya, industri maju) mengandalkan carbon sink dari Global South. Mereka bilang: “Kamu lindungi hutannya ya, demi iklim dunia.”
Tapi realitanya:
- Dana bantuan iklim minim.
- Kompensasi tidak adil.
- Hutan malah dikapitalisasi lewat proyek offset (yang sudah kita bahas di episode sebelumnya).
Bahkan masyarakat adat dan petani kecil jadi korban. Tanah mereka dianggap sebagai komoditas karbon. Diklaim, diukur, disertifikasi lalu dijual di bursa karbon global, seperti barang dagangan.
Siapa Diuntungkan, Siapa Tersesat?
Nah, pertanyaannya: kenapa semua istilah ini jadi populer? Jawabannya: karena membantu mempertahankan status quo.
Negara maju bisa tetap membakar batubara, minyak dan gas, asal mereka “janji” untuk net zero 25 tahun lagi.
Korporasi bisa tetap produksi plastik sekali pakai, lalu tebar jargon “eco-friendly” di kemasan.
Bahkan beberapa LSM yang harusnya kritis, malah ikut memasarkan terminologi ini — dapat pendanaan, dapat panggung, dapat green halo.
Contohnya?
Nestlé pernah menyebut air kemasan mereka “carbon neutral”. Padahal kemasannya plastik, produksinya emisi, distribusinya pakai truk diesel.
Lalu kenapa bisa netral? Karena mereka offset lewat program reboisasi. Yang belum tentu jalan.
Planet Bukan Spesialis Laundry Emisi
Carbon sink penting, iya. Tapi bukan alasan untuk tetap buang emisi sepuasnya.
Kalau kita terus menggantungkan solusi pada hutan, laut, dan tanah tanpa menghentikan sumber masalahnya—yakni bahan bakar fosil, konsumsi berlebih, dan eksploitasi—kita cuma mindahin beban. Bukan menyelesaikan masalah.
Dunia butuh pengurangan emisi dari akarnya. Bukan sekadar menyuruh hutan dan laut bersihin kotoran yang bukan mereka buat.
Leave a Reply