Panas Ekstrem Indonesia dan Mereka yang Menanggungnya

Panas Ekstrem Indonesia dan Mereka yang Menanggungnya
Panas Ekstrem Indonesia dan Mereka yang Menanggungnya

Beberapa bulan terakhir, udara di banyak kota seperti menekan dada. Dari Jakarta sampai Kupang, panas ekstrem Indonesia membuat siang terasa panjang dan malam tidak memberi jeda. Tapi mengapa panas ini terjadi? Apakah sekadar cuaca, atau bagian dari perubahan yang lebih besar — perubahan yang kini kita rasakan di kulit, di sawah, dan di jalan?

Mengapa Panas Ekstrem Terjadi

BMKG menjelaskan, panas yang kita alami dipengaruhi oleh gerak semu matahari. Saat matahari berada tepat di atas wilayah Indonesia, sinarnya jatuh tegak lurus, membuat suhu meningkat dan awan hujan sulit terbentuk. Itu sebabnya langit tampak cerah, tapi menyengat.

Fenomena urban heat island atau pulau panas perkotaan juga turut memperburuk keadaan. Kota besar yang dipenuhi aspal dan beton menyimpan panas lebih lama. Saat malam datang, udara tak mendingin — ia terperangkap di antara dinding dan jalan. Itu sebabnya malam sama panasnya dengan siang.

Namun, panas kali ini terasa berbeda. Ia lebih lama, lebih luas, dan lebih sering datang kembali. Ini bukan sekadar pergeseran musim, tapi tanda bahwa sistem bumi sedang berubah.

Kaitan dengan Perubahan Iklim

Para ahli menyebut panas ekstrem ini sebagai bagian dari tren pemanasan global. Lapisan atmosfer bumi menahan lebih banyak panas akibat meningkatnya gas rumah kaca. Saat suhu dasar bumi naik, setiap fenomena cuaca terasa lebih kuat. Akibatnya, gelombang panas yang dulu jarang kini muncul lebih sering.

BMKG mencatat, suhu rata-rata udara di Indonesia meningkat sekitar 0,8 hingga 1 derajat Celsius dalam empat dekade terakhir. Tahun 2024 tercatat sebagai salah satu tahun terpanas sejak pencatatan dimulai. Artinya, panas bukan lagi kejadian sesaat, melainkan kecenderungan yang terus menguat.

Suhu Rata-Rata yang Terus Naik

Dalam sepuluh tahun terakhir (2014–2024), hampir semua kota besar mengalami peningkatan suhu rata-rata tahunan:

  • Jakarta: naik dari 28,2°C menjadi 29,3°C
  • Surabaya: naik dari 28,6°C menjadi 29,7°C
  • Makassar: naik dari 28,3°C menjadi 29,0°C
  • Denpasar: naik dari 27,4°C menjadi 28,1°C
  • Medan: naik dari 27,9°C menjadi 28,8°C

Kenaikan satu derajat tampak kecil, tapi dampaknya besar. Tanah lebih cepat kering, energi lebih cepat habis, dan tubuh manusia lebih cepat lelah. Dalam 30 tahun ke depan, jika tren ini berlanjut, wilayah tropis seperti Indonesia akan menghadapi petaka panas ekstrem lebih sering dan lebih panjang.

Siapa yang Paling Merasakan Dampaknya

Panas ekstrem tidak menyerang semua orang dengan cara yang sama. Yang paling menderita adalah mereka yang hidup di bawah langit tanpa perlindungan. Tukang ojek, buruh bangunan, pedagang kaki lima, nelayan, dan petani.

Ketika suhu mencapai 36 derajat, tubuh kehilangan kemampuan mendinginkan diri. Risiko dehidrasi dan kelelahan meningkat. Di perkotaan, warga miskin yang tinggal di rumah seng dan beton padat tak punya ruang untuk sejuk, membuat malam terasa panjang.

Sebaliknya, mereka yang punya akses pendingin ruangan mungkin hanya merasa “gerah”. Kesenjangan ini menegaskan bahwa panas juga soal keadilan — siapa yang bisa membeli dingin, dan siapa yang hanya bisa berharap angin masih bertiup.

Panas yang Mengingatkan

Panas ekstrem Indonesia adalah peringatan dari bumi. Bahwa cara kita hidup — membangun kota tanpa ruang hijau, membakar bahan bakar tanpa jeda, mengkonsumsi plastik secara semena-mena, dan menutup tanah dengan beton — punya konsekuensi.

Tapi ini juga peluang: untuk belajar hidup lebih seimbang dengan alam, menanam kembali keteduhan yang hilang, dan memastikan setiap orang punya hak yang sama atas udara yang bisa dihirup dengan lega.

Karena panas ini bukan sekadar cuaca. Ia adalah cermin dari pilihan kita.