Pada tahun 2026 hari terpanas tidak lagi menjadi barang langka. Tidak lagi datang sesekali namun jadi pengunjung tetap. Suhu ekstrem bukan lagi peringatan jauh di cakrawala, melainkan bagian dari hidup sehari-hari.
Kita tak hanya berbicara tentang cuaca panas—kita sedang berbicara tentang perubahan gaya hidup, ancaman kesehatan masyarakat, dan kegagalan kolektif dalam merespons krisis iklim secara adil dan bijak.
Hari Terpanas Meningkat: Kenyataan yang Mendekat
Organisasi World Weather Attribution memperkirakan bahwa jumlah hari panas ekstrem akan terus meningkat, terutama di kawasan tropis seperti Asia Tenggara. Indonesia, dengan garis pantai panjang dan kota-kota padat penduduk, berada dalam posisi rentan. Tahun 2023 saja telah mencatatkan suhu tertinggi di beberapa kota besar seperti Surabaya, Palembang, dan Jakarta. Tren ini bukan siklus alam biasa. Hari terpanas adalah resonansi dari perubahan iklim. Sesuatu yang bahkan satu minggu lalu banyak orang menganggap terjadi jauh di kutub utara sana.
Di tahun 2026 nanti, organisasi yang sama memperkirakan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah hari dengan suhu di atas 35°C, bahkan di kawasan yang sebelumnya memiliki iklim relatif sejuk. Bukan hanya siang, suhu malam hari juga ikut naik. Ini artinya tubuh tidak mendapat cukup waktu untuk memulihkan diri.
Dari Cuaca Ekstrem ke Ancaman Kesehatan
Dampaknya tak bisa diabaikan: risiko heatstroke meningkat, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan pekerja informal yang sehari-hari terpapar matahari. Di kota besar, efek pulau panas perkotaan (urban heat island) memperparah situasi. Kombinasi suhu ekstrem dengan kualitas udara buruk menciptakan kondisi mematikan. Dan kita belum benar-benar siap.
Krisis ini bersifat diam-diam tapi merusak. Kita tidak melihatnya seperti banjir atau gempa, tapi ia merembes ke segala sisi: menurunkan produktivitas kerja, mengganggu hasil pertanian, meningkatkan konsumsi listrik dan air, serta memperlebar jurang ketimpangan sosial.
Hari Terpanas, Kebijakan yang Dingin
Respons kita, seperti biasa, berkutat di permukaan. Fokus masih pada mitigasi teknologi dan jargon “net zero” tanpa memperhatikan akar ketimpangan. Ketika hari-hari terpanas menjadi biasa, siapa yang bisa membeli pendingin udara? Siapa yang bisa tinggal di tempat yang rindang? Siapa yang mampu membayar tagihan listrik yang melonjak? Lagi-lagi, rakyat kecil menanggung beban yang tak mereka ciptakan.
Pemerintah Indonesia perlu berani mengambil langkah perlindungan adaptif yang nyata—bukan sekadar kampanye hijau musiman. Mulai dari mendorong kota-kota membangun ruang terbuka hijau, hingga memastikan akses air bersih dan layanan kesehatan tetap aman di tengah suhu ekstrem.
Dari Sains ke Kesadaran Publik
Data sudah tersedia. Penelitian demi penelitian menunjukkan arah yang sama: hari terpanas makin sering, makin lama, dan makin buruk. Tapi data saja ternyata tidak cukup.
Kita butuh narasi baru. Kita perlu mendengar kisah-kisah dari lapangan: tentang petani yang gagal panen karena tanah terlalu kering, tentang sopir ojek daring yang tak bisa beristirahat karena harus mengejar insentif, tentang anak-anak yang tak bisa tidur nyenyak karena malam tak lagi sejuk.
Krisis iklim tak hanya soal karbon, tapi soal keadilan. Keadilan Iklim. Menyadari siapa yang paling menderita dan siapa yang paling banyak bertanggung jawab.
Tahun 2026 mungkin belum menjadi akhir, tapi bisa jadi pertanda: bahwa hari-hari terpanas tak lagi datang sesekali. Mereka menetap. Mereka menjadi norma baru. Dan jika kita terus abai, panas ini akan membakar lebih dari sekadar kulit kita — ia akan menghanguskan solidaritas dan harapan.
Artikel ini merupakan bagian dari seri Resonansi Perubahan Iklim di perubahaniklim.com. Jika kamu percaya bahwa cuaca ekstrem adalah urusan kita bersama, bantu kami menyebarkan pengetahuan, menggalang aksi, dan memperluas solidaritas. Karena bumi tidak butuh penyelamat, ia butuh teman seperjalanan.
























Leave a Reply