Plastik itu ringan, murah, kuat, tahan lama, dan bisa membantu banyak hal dalam kehidupan sehari-hari: dari bungkus makanan, botol minuman, alat medis, sampai komponen teknologi.
Kalau dipakai dengan bijak dan didaur ulang, plastik-bisa jadi teman karena memudahkan hidup sekaligus bisa terus dimanfaatkan tanpa mencemari.
Sampah plastik sebagai “musuh”
Kalau tidak ada pengelolaan yang baik, material ini jadi beban besar bagi bumi dan generasi mendatang.
“Coba bayangkan: setiap kali kita buang satu kantong sembarangan, seolah-olah kita sedang menaruh satu batu kecil ke dalam got depan rumah. Lama-lama, batu-batu itu numpuk, air nggak bisa jalan… dan jadilah banjir.”
Ketika dibuang sembarangan, bahan ini berubah jadi racun lingkungan: mencemari laut, merusak tanah, membunuh biota, bahkan masuk ke tubuh manusia dalam bentuk mikroplastik.
Plastik sekali pakai adalah musuh terbesar karena hanya dipakai sebentar tapi butuh ratusan tahun untuk terurai.
Banjir-Plastik di Depan Rumah Kita
Setiap hari, tanpa sadar, kita jadi “produsen mini”. Dari bungkus kopi sachet pagi, plastik sayur dari pasar, sampai botol minuman yang kita beli di jalan. Data menyebutkan, Indonesia menghasilkan lebih dari 7 juta ton sampah plastik per tahun, dan sekitar 3 juta ton di antaranya tidak terkelola dengan baik. Jadi jangan heran kalau selokan depan rumah cepat sekali mampet.
Kalau diibaratkan, plastik di jalanan itu seperti mie instan yang lengket di panci: sekali nyangkut, susah lepas. Akhirnya got penuh, air hujan meluber, banjir pun mampir ke ruang tamu.
Dan bukan cuma banjir. Di laut, plastik-plastik ini menumpuk seperti jaring raksasa. Nelayan yang biasanya pulang membawa ikan, sering kecewa karena yang masuk ke jaring justru botol dan kantong-plastik. Artinya, penghasilan mereka ikut terhantam.
Plastik juga punya wajah lain yang lebih halus: mikroplastik. Ini potongan super kecil, seukuran remahan kerupuk, yang masuk ke sungai lalu terbawa ke laut. Penelitian menemukan, setiap orang Indonesia bisa menelan ribuan partikel mikroplastik per tahun, lewat air minum, garam, dan makanan laut. Bayangkan makan nasi goreng, tapi ada taburan plastik halus yang tak kasat mata.
Masalah plastik ini ibarat utang yang menumpuk di kartu kredit: awalnya terasa kecil, tapi lama-lama jadi beban besar. Dan beban itu kembali ke kita—dalam bentuk banjir, laut yang tercemar, dan bahkan kesehatan yang terancam.
Jadi, mari kita berhenti sejenak dan merenung: kalau plastik-yang kita buang hari ini bisa kembali ke tubuh kita besok… apa langkah kecil yang bisa kita mulai, supaya rumah kita, kota kita, dan laut kita tidak terus-terusan tenggelam oleh banjir-plastik?
Leave a Reply