Menolak Sawit hingga muncul tagar #AllEyesOnPapua muncul di mana-mana. Apa sebetulnya yang sedang dilakukan Pemerintah terhadap masyarakat Papua?
Akhir Mei 2024, masyarakat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan masyarakat Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat. Mereka juga dibersamai oleh organisasi masyarakat sipil.
Tujuan mereka datang ke Jakarta adalah meminta MA membatalkan izin perusahaan sawit yang berniat beroperasi di “rumah” mereka. Pembatalan izin perusahaan sawit ini tidak hanya dapat memulihkan hak-hak masyarakat adat yang tercabut, lebih dari itu, juga bisa menyelamatkan hutan Papua.
Masyarakat Suku Awyu menggugat Pemerintah Provinsi Papus karena memberi izin lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). IAL mendapatkan izin lingkungan untuk 36.094 hektar lahan, sebagian besar bagian dari hutan adat marga Woro, Suku Awyu.
Mengutip laporan Kompas.ID bertajuk “All Eyes on Papua, How did the Awyu and Moi tribes save their forests?”, gugatan Suku Awyu juga terkait dengan pemberian izin pemerintah kepada beberapa perusahaan untuk membuat perkebunan sawit terbesar di Indonesia di hutan Papua lewat Proyek Tanah Merah. Proyek ini akan dioperasikan oleh tujuh perusahaan, yakni PT MJR, PT KCP, PT GKM, PT ESK, PT TKU, PT MSM, dan PT NUM.
Karena itulah selain banding kasus PT IAL, masyarakat Awyu juga mengajukan banding Menolak Sawit atas gugatan PT KCP dan PT MJR. Kedua perusahaan ini sebelumnya kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Sementara itu, masyarakat Suku Moi, persisnya sub suku Moi Sigin, saat ini tengah menghadapi PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Mereka berencana membuka 18/160 hektar hutan adat Suku Moi untuk kebun sawit. Sejatinya, izin PT SAS sudah dicabut pemerintah pada 20222 lalu, tapi perusahaan ini kembali mengajukan gugatan balasan ke PTUN Jakarta.
Nah, Suku Moi ke Jakarta untuk terus melawan dengan menjadi tergugat intervensi di PTUN Jakarta. Mereka juga tengah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Mengenal lebih dekat masyarakat Suku Awyu
Suku Awyu merupakan masyarakat asli Boven Digoel, Papua Selatan. Sebagai informasi, mayoritas masyarakat Papua, termasuk Suku Awyu dan Moi, memanfaatkan hutan dan tanah adat sebagai ruang penghidupan mereka. Mulai dari berburu, berkebun, mencari sumber pangan, obat-obatan, budaya, ekonomi, dan pengembangan pengetahuan.
Menjadikan hutan Papua perkebunan sawit tentu akan menghilangkan fungsi dan daya dukung lingkungan ekosistem alam.
Mengutip Briefing Paper bertajuk “The Awyu Trine: Suing the State, Defending Indigenous Forest (2023)” yang diterbitkan Save Papua’s Indigenous Forests Coalition, Suku Awyu merupakan satu dari ratusan suku bangsa di Papua yang mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.
Mereka berbicara dengan dialek Awyu dan mendiami desa-desa di daerah yang banyak terdapat sungai, lahan gambut, dan rawa, yaitu Sungai Bamgi, Sungai Edera, Sungai Kia, Sungai Mappi, Sungai Pesue dan Asue, serta Sungai Digul.
Masyarakat Awyu adalah masyarakat yang cinta damai dan hal itu menjadi label sosial dari kelompok masyarakat adat ini. Kata Awyu sendiri diartikan dan berasal dari ungkapan lokal yang berarti “damai”. Menurut cerita rakyat, masih dari sumber yang sama disebutkan, di zaman perang suku, masyarakat Suku Awyu adalah tipikal masyarakat yang tidak punya keinginan berperang. Berbeda dengan Suku Jaghai, Asmat, dan Marind yang memang dikenal agresif.
Suku Awyu bermigrasi dan menghindari peperangan sehingga mereka tersebar luas.
Sistem mata pencaharian masyarakat Awyu dalam usaha berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, dan mengolah sagu dan berkebun, masih dilakukan berdasarkan sistem dan norma kearifan lokal, alat produksi masih tradisional, dengan larangan dan sanksi adat (toto gundi nero).
Pola panen dan pembuatan tepung sagu dilakukan secara kelompok keluarga, berdasarkan marga atau kelompok anggota marga. Kegiatan pengumpulan sagu dilakukan bersamaan dengan kegiatan berburu dan menangkap ikan, serta mengumpulkan bahan makanan, obat-obatan, dan lain sebagainya.
Masyarakat melakukan aktivitas tersebut selama berhari-hari dan berdiam di ‘bivak’ di dalam hutan. Kesempatan ini juga dimanfaatkan untuk mewariskan pengetahuan kepada generasi muda tentang sejarah hak atas tanah, sistem penghidupan dan budaya Suku Awyu, keterampilan berburu dan mengolah sagu, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana dengan Suku Moi Menolak Sawit?
Suku Moi, seperti disinggung di awal juga tengah melakukan perlawanan terhadap PT SAS yang menggunduli 18.160 hektar hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS sempat memegang konsesi seluas 40.000 hektar lahan di Kabupaten Sorong, tetapi pemerintah mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha pada 2022.
Keputusan pemerintah tersebut kemudian kembali direspons melalui gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dilansir dari Indonesia.go.id, Suku Moi banyak mendiami Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Suku Moi sendiri terbagi dalam tujuh subkelompok, meliputi Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya. Awalnya, masyarakat adat Moi hanya mendiami satu tempat, yaitu Kampung Maladofok, sebuah kampung kuno yang terletak sekitar dua kilometer di barat Desa Malaumkarta, Makbon.
Namun, setelah adanya bencana alam, Suku Moi mengungsi ke sejumlah daerah yang saat ini disebut Malaumkarta Raya, mencakup Desa Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi.
Sejak zaman dahulu, Suku Moi merupakan suku yang terbiasa melaut. Kini pun, Suku Moi dan perahu tidak bisa dipisahkan. Ada beberapa ciri khas perahu masyarakat adat ini, antara lain adanya susung atau bangunan seperti rumah yang berfungsi sebagai tempat melindungi diri dan barang logistik dari hujan.
Perahu suku Moi terbuat dari kayu selawaku asli tanah Moi. Perahu pun menjadi alat transportasi vital bagi kelompok masyarakat ini. Oleh karena itu, masyarakat suku benar-benar merawat perahunya dengan baik, bahkan tak lupa menghiasnya.
Tidak hanya laut, keberadaan hutan adat juga sangat penting bagi masyarakat Suku Moi. Hutan adalah sumber kehidupan yang menyimpan cadangan pangan bagi mereka.
Dilansir Antara, Kamis (19/5/2022), jika tidak ada beras, masyarakat Moi masuk ke hutan untuk berburu dan mencari sayur-sayuran yang tumbuh liar. Dengan demikian, kebutuhan pangan mereka tetap terpenuhi meski simpanan makanan pokok beras menipis.
Mengingat pentingnya peran hutan, masyarakat adat Moi, terutama yang mendiami wilayah Malaumkarta Raya, Kabupaten Sorong, pun sangat menjaga kelestarian hutan sebagai sumber kehidupan, Menolak Sawit
Deforestasi Oleh Sawit Untuk Barang Harian Kita
Minyak sawit dari Nestlé
Perkebunan Sawit Bersertifikasi Merambah Hutan
Sawit Biofuel dan Deforestation
Knowing Autism
Understanding Autism
Managing Autism
Leave a Reply