Ekonomi donat dan issue lingkungan sepertinya berkaitan erat. Pernahkah kita terpikir limbah domestik rumah tangga yang kita hasilkan akan menjadi seperti apa kelak di kemudian hari. Tiap hari tukang sampah mengambil sampah dari rumah kita yang akhirnya akan berlabuh di tempat pembuangan akhir.
Volume itu tidak akan berkurang bahkan cenderung menggunung seiring dengan bertambahnya populasi. Tak lain dan tak bukan fenomena tersebut merupakan buah dari sistem ekonomi konvensional yang cenderung linear dan menyisakan ampas dalam proses produksinya. Berbicara isu lingkungan memang tidak ada habisnya. Isu bisa mengarah kemana-mana termasuk pada bencana alam yang beberapa diantaranya disebabkan oleh kerusakan lingkungan.
Tentu kita belum lupa dengan bencana banjir dahsyat di Kalimantan Selatan yang merupakan bencana terburuk sejak 50 tahun terakhir dengan tingkat kerugian materiil mencapai 1,3 triliun rupiah (BNPT, 2021). Banjir tersebut disinyalir terjadi karena faktor kerusakan lingkungan di samping curah hujan yang tinggi. Belum lagi bencana banjir ibukota yang hampir selalu menjadi masalah tahunan.
Kerusakan lingkungan Tak dapat dipungkiri, bahwa saat ini telah terjadi penurunan kualitas lingkungan di Indonesia selama beberapa dekade terakhir akibat kegiatan ekonomi yang kurang berorientasi lingkungan.
Pada tahun 2017 sebanyak 13,34 persen rumah tangga di Indonesia menyatakan bahwa kualitas air/udara di lingkungan tempat tinggalnya telah tercemar (Susenas Modul Hansos, 2017).
Dari hasil pendataan Podes 2018 juga terlihat bahwa sebanyak 25,11 persen desa mengaku mengalami pencemaran air, 2,69 persen mengalami pencemaran tanah dan 11,83 persen mengalami pencemaran udara. Menurut proyeksi Kementerian PU (2003), ketersediaan air per kapita di Pulau Jawa juga terus turun dan diperkirakan pada tahun 2035 ketersediaan air per kapita hanya 1.118 m3 atau lebih rendah dari standar kecukupan minimal sebesar 2.000 m3.
Produk emisi karbon Indonesia juga terus meningkat dimana pada tahun 2018 telah mencapai 543 juta ton, meningkat 27 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya.
Meskipun pandemi covid-19 diyakini memberi sedikit perbaikan pada produksi emisi karbon namun penurunan tersebut diperkirakan hanya bersifat sementara karena hanya disebabkan diterapkannya pembatasan sosial semacam PSBB maupun PPKM. Bila new normal yang sebenarnya terwujud, maka diperkirakan emisi karbon juga akan kembali mengalami peningkatan.
Berawal dari kerusakan lingkungan, beberapa ekonom mulai mendefinisikan kembali pertumbuhan ekonomi. Salah satunya mereka memikirkan perubahan paradigma dalam memproduksi barang. Mereka memperkenalkan konsep “made to be made again” yang pada intinya menekankan akan pentingnya daur ulang terhadap limbah atau sampah dari proses produksi sebelumnya. Konsep ini lebih dikenal dengan konsep ekonomi berputar (circular economy) yang mencoba mempertahankan nilai bahan mentah sebanyak mungkin sepanjang siklus hidup produk.
Dalam teori ekonomi konvensional hal yang selalu ingin dicapai adalah growth, sesuai dengan sifat dasar manusia yaitu homo economicus yang tanpa henti mengejar keuntungan. Secara mudahnya konsep ini berpikiran bahwa keuntungan dan produksi tahun depan seharusnya lebih baik dari tahun ini. Konsep ini mempunyai kecenderungan ide pertumbuhan tanpa batas padahal kenyataannya planet bumi dan peradaban manusia mempunyai keterbatasan (tipping point). Pada saat terjadi kondisi tipping point maka perubahan kecil pada skala produksi akan membawa perubahan besar pada lingkungan dan sosial.
Pada tahun 2012 muncullah gagasan tentang ekonomi donut yang diprakarsai oleh Kate Raworth seorang ekonom dari Oxford University. Gagasan ini melihat sudut pandang pembangunan tersebut dalam dimensi yang berbeda. Konsep ekonomi donut membatasi pertumbuhan ekonomi dengan batas sosial dan batas lingkungan.
Sebagaimana kita membayangkan sebuah kue donat maka ada lingkaran dalam dan lingkaran luar. Lingkaran dalam itu merupakan batas fondasi sosial dan lingkaran luar merupakan batas langit-langit ekologi (lingkungan). Lubang di tengah model menggambarkan proporsi orang yang tidak memiliki akses ke kebutuhan hidup seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Elemen di luar lingkaran luar merupakan kerusakan lingkungan yang sudah terlanjur terjadi seperti emisi karbon, pencemaran lingkungan dan rusaknya keanekaragaman hayati. Pertumbuhan ekonomi seharusnya tumbuh di antara dua lingkaran donut tersebut.
Sebenarnya konsep ekonomi donut cenderung mirip dengan konsep tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang juga menekankan pertumbuhan pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun dalam ekonomi donut aspek lingkungan menjadi fokus utama dimana salah satunya dilakukan dengan menutup siklus semua bahan mentah sehingga ekonomi benar-benar melingkar. Indonesia lambat-laun perlu mengadopsi konsep ekonomi melingkar dengan cara mengurangi ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada sumber daya alam dan mulai menggalakkan usaha daur ulang.
Eri Kuntoro, SST, MSi
Leave a Reply