Masalah Kehutanan Indonesia

Masalah Kehutanan Indonesia
Masalah Kehutanan Indonesia

Masalah kehutanan Indonesia adalah sebuah labirin yang membingungkan. Pembalakan diatas hutan alam tersisa yang terus berlangsung menimbulkan konsekuensi yang cukup serius. Dalam kurun waktu 2000 hingga 2006 terjadi 390 kali bencana banjir dan longsor yang menimbulkan korban jiwa lebih dari 2.303 dan lebih dari 188 ribu rumah rusak berat dan setengah juta hektar lahan tidak dapat digunakan lagi. Total kerugian secara langsung mencapai 36,943 trilyun rupiah. Menjadikan masalah kehutanan Indonesia begitu buruk dalam segi dampak.

Banjir dan longsor yang terjadi juga menimbulkan dampak tidak langsung terhadap perekonomian lokal. Terputusnya akses jalan membuat ribuan orang di kawasan pertanian  tidak mampu memasarkan hasil buminya sehingga membuat para pedagang pengecer kehilangan pendapatannya.

Lihat Videonya berikut:

Disamping kerugian yang ditimbulkan oleh bencana banjir dan longsor, salah arah kebijakan kehutanan juga menimbulkan konflik yang tidak terselesaikan hingga hari ini. Sejak tahun 2000 hingga 2007 misalnya, terjadi lebih dari 300 kali konflik disektor kehutanan.

Kebijakan pemerintah masa orde baru yang salah arah juga tidak mampu dijawab dengan realistis oleh pemerintahan baru pasca ordebaru. Berbagai kebijakan yang keluar malah tidak mampu menyembuhkan luka kehutanan dan industri kehutanan itu sendiri. Setiap tahunnya, hutan Indonesia di dera oleh praktik illegal logging akibat besarnya kapasitas produksi sektor kehutanan. Diperkirakan dalam lima tahun terakhir kayu yang ditebang secara illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Menciptakan kerugian negara sebesar 27 trilyun rupiah setiap tahunnya. Seperti fenomena gunung es, angka sebenarnya tentu jauh dari itu. Pada tahun 2003,  Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa pada tahun yang sama lebih kurang 36,4 juta meter kubik ditebang secara illegal.

Operasi Hutan Lestari, meskipun mampu menekan keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun keberhasilannya jauh dari harapan. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara illegal berhasil ditangkap.

Disektor ekonomi, perusahaan-perusahaan sektor kehutanan dengan investasi miliaran dolar tersebut bukan hanya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat indonesia. Paradigma yang mengedepankan investasi luar dan dalam negri telah memaksa rakyat untuk mensubsidi lahan-lahan produktif yang mereka miliki bagi konglomerat kehutanan. Peningkatan kesejahteraan yang diharapkan muncul dari trickledown effect malah justru  berbalik arah. Subsidi rakyat untuk negara/pengusaha. Banjir, longsor, munculnya hama baru, konflik manusia – satwa dan terpotongnya akses terhadap sumberdaya alam hutan adalah bagian dari dampak pembangunan disektor kehutanan.

Baca Juga
Klinik Autism Utama di Indonesia

Pada tahun 1998, lebih dari sepuluh konglomerasi di sektor kehutanan dinyatakan gagal membayar hutang-hutangnya sehingga memaksa negara melalui  Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk mengambil alih hutang disektor swasta tersebut menjadi hutang dalam negeri. Sekali lagi, rakyat Indonesia harus menanggung hutang yang bukan miliknya. Malangnya lagi, mendekati akhir masa kerja BPPN dan dalam upaya menghasilkan berapapun nilai pemasukan untuk APBN, BPPN kemudian melakukan kebijakan jual obral utang macet. Termasuk didalamnya utang macet disektor kehutanan. Nilai jual utang macet kala itu hanyalah mencapai 20 persen dari total utang. 

Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi sebesar 80% kepada debitur kehutanan yang berhasil membeli utang macet tersebut dengan harga 20 persen dari total utang. Jika utangnya adalah Rp.100, maka debitur hanya perlu membayar Rp.20. Sisanya ditanggung oleh rakyat Indonesia. Sialnya, pada saat itu pemerintah memiliki otoritas penuh untuk menurunkan kapasitas prioduksi dari perusahaan-perusahaan yang tidak lagi memiliki HPH tersebut. Namun tidak dilakukan. Lagi-lagi dengan alasan devisa negara yang nilainya dari sektor kehutanan menurun dengan drastis.

Seluruh cerita dari ekstraksi industri berbasis lahan diatas memiliki kaitan dengan kebutuhan pasar dunia. Permintaan yang cukup tinggi dari pasar dunia telah memaksa Indonesia dan pasar-pasar dunia menutup mata atas apa yang tengah terjadi di Indonesia.

Memberikan kesempatan terus menerus kepada pemerintah untuk menjalankan berbagai  inisiatif dalam kerangka perbaikan sektor kehutanan Indonesia sepertinya sia-sia. Inisiatif pemerintah tidak pernah menyentuh tiga hal pokok yang dihadapi oleh sektor kehutanan: (1) tidak adanya pengakuan terhadap hak masyarakat, (2) korupsi disegala level dan (3) besarnya gap antara supply dengan demand.

3 Masalah Pokok Masalah Kehutanan Indonesia

Berikut ini adalah 3 pokok masalah kehutanan Indonesia.

1. TIDAK ADA PENGAKUAN HAK RAKYAT

Sejak dulu, dalam buku sejarah manapun di Nusantara, interaksi antara masyarakat dan sumberdaya alam hutan selalu ada. Manusia Indonesia diawal peradabannya memiliki hubungan yang sangat spesifik dengan hutan, baik sebagai pemburu maupun sebagai pengumpul/peramu yang semua bahannya hanya dapat diperoleh dari hutan alam.

Dalam catatan terjauh yang kita miliki, pada abad ke empat, kerajaan pertama di Indonesia, Mulawarman, suku-suku di Kalimantan tinggal dan membentuk hubungan equilibirium[2] dengan hutan alam disekitarnya. Banyaknya ramuan obat-obatan dan makanan yang sebagian besar bahannya berasal dari hutan pada dasarnya merupakan indikasi kuat korelasi tersebut.

Pada tahun 2000, CIFOR memprediksikan bahwa sekitar 48,8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal didalam dan sekitar hutan.  Sebagian besar penduduk tersebut melakukan praktik usahatani gabungan subsistensi dan komersial antara padi gogo dan tanaman tahunan.  Berbagai produk hutan juga dikumpulkan untuk dijual dan dikonsumsi di rumah, termasuk rotan, madu, damar, daun-daunan dan buah-buahan yang dapat dimakan, termasuk satwa liar, dan ikan. 

Perkiraan menyebutkan sekitar 7 juta penduduk di Sumatera dan Kalimantan bergantung pada kebun karet yang menyebar di lahan seluas kurang lebih 2,5 juta hektar. Di Sumatera saja, kira-kira 4 juta hektar lahan dikelola oleh masyarakat lokal dalam bentuk berbagai jenis wanatani (yaitu kebun berbagai spesies buah digabung dengan pertumbuhan hutan alami) tanpa bantuan dari luar.[3] 

Walaupun tidak memiliki sertifikat tanah secara tertulis, masyarakat asli memahami bentuk tradisional pengelolaan sebagai hak adat yang diwariskan, yang diakui secara spesifik dalam pasal 18, Undang-undang Dasar Negara Indonesia. 

Pemerintah, walaupun memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat beserta sistem penguasaan lahannya (diatur dalam Undang-Undang No 5/60 tentang pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Kehutanan No 5/67 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Kehutanan No 41/99) namun secara tegas pula dinyatakan bahwa kesempatan untuk menuntut hak pemanfaatan hasil hutan maupun hak ulayat atas tanah tidak diperkenankan melebihi kepentingan nasional.

Ini memang bisa dipahami. Tentunya tidak mungkin mengedepankan kepentingan satu golongan diatas kepentingan negara. Demikian logika yang sebenarnya. Namun logika ini menjadi absurd ketika paradigma pembangunan kehutanan menitikberatkan pada laju investasi dalam dan luar negeri. Pemerintah mengundang investor darimanapun asalnya untuk menanamkan investasinya pada lahan hutan alam Indonesia.  Apapun logika yang dipakai tentu tidak akan menemukan keberadaan masyarakat yang tinggal dan hidup sederhana di dan sekitar hutan memiliki sumber finansial yang cukup besar yang dapat digunakan untuk melakukan pengolahan hutan. Masyarakat secara terbiasa hidup dan membangun equilibirium dengan hutan sekitarnya. Mengambil apa yang menjadi kebutuhannya. Tidak ada niatan untuk melakukan kapitalisasi keuntungan dari hutan alam yang menyokong kehidupannya.

Meskipun pemerintah berharap adanya trickledown effect dari setiap aktivitas usaha yang ditanamkan oleh investor di wilayahnya. Namun lagi hal ini malah tidak pernah terjadi. Dalam jangka pendek sebagian masyarakat memang merasakan (terlepas adanya kelompok masyarakat yang kehilangan tanah dan kehilangan ekonomi pendukungnya). Puluhan orang kemudian bisa melakukan kegiatan ekonomi ditempat tersebut. Diantaranya menyalurkan bahan makanan atau kebutuhan lain, dan mendapatkan kesempatan kerja – meski dengan alasan pendidikan, masyarakat hanya menjadi buruh. Keuntungan ekonomi didapatkan. Dalam jangka pendek, manakala proses eksploitasi tengah berlangsung, desa memperlihatkan denyut kehidupannya. Dalam jangka panjang, ketika konsesi berakhir maka hutan telah kehilangan kesuburan tanahnya, masyarakat kehilangan akses terhadap komoditi hutan yang ada sebelum konsesi muncul dan seringkali diakhiri dengan konflik-konflik horizontal, dan dibanyak tempat hama baru bermunculan ditambah ancaman terhadap bencana banjir dan longsor.

Hingga kini, pemerintah tidak pernah melakukan koreksi sama sekali terhadap latar belakang berpikirnya.[4]  Klaim oleh pemerintah sudah ditegaskan dalam peraturan perundangan tersebut dimana hutan adat adalah hutan negara yang kebetulan berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.[5] Artinya lagi, kalau ada masyarakat yang telah menguasai dan mengelola hutan jauh sebelum negara ini lahir dan kemudian berkeinginan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan maka terlebih dahulu harus memohon izin kepada ‘pemilik’ barunya -negara – pemerintah.

Salahnya lagi, dalam melakukan penetapan status selama ini pemerintah bersikap seperti jaman Belanda, tanpa tanpa melalui proses yang seharusnya (due process) atau tanpa pemberian kompensasi yang berarti. Ratusan juta hektar hutan kemudian diklaim sebagai hutan negara, yang membuat negara (baca: pemerintah) berhak untuk memindahkan hak guna atas lahan kepada pihak-pihak dianggap akan memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada pemerintah. Meskipun, proses penetapan hutan negara mensyaratkan dilakukannya penatabatasan terhadap kawasan untuk menghindari kemungkinan adanya overlap dengan kawasan masyarakat. Meskipun hingga kini baru kurang dari 20% seluruh hutan alam yang dilakukan penatabatasan.

Dengan metode pengambilalih paksaan sumberdaya alam hutan dari masyarakat seperti ini, pada akhirnya aktivitas ekstraksi menciptakan sebuah dimensi konflik yang beragam. Ekstraksi hutan, yang pada mulanya ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat sekaligus memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada akhirnya menunjukkan kegagalannya karena tidak mampu mencapai tujuan awal, menyejahterakan masyarakat. Pada dasarnya, pembangunan disektor kehutanan di Indonesia baru bisa dikatakan berhasil apabila mampu mempertahankan keberadaan dan daya dukung ekologinya. Pembangunan tersebut dikatakan gagal terlebih bila keberadaannya tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu kelompok sasaran utamanya. Dan jangan salahkan bila kemudian, masyarakat yang cemburu kemudian beramai-ramai mengambil potongan kue yang tersisa.

2. Korupsi adalah bagian dari masalah kehutanan Indonesia

Penegakan hukum disektor kehutanan di Indonesia tidak berjalan dengan semestinya. Meski semua yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan sudah tersedia: institusi penegak hukum, aparat dan materi perundang-undangannya. Penyebab utamanya adalah kolusi dan korupsi, termasuk aparat penegak hukumnya. Korupsi telah menyebar disegala level birokrasi dan institusi pengadilan/kepolisian. Memang, sejak era Soeharto, korupsi telah merasuki sistem birokrasi negara ini  dan menjadi kekuaatan penentu dibalik semua aktivitas illegal dan keputusan-keputusan politik. Saat ini, korupsi menjadi penyebab utama tidak berjalannya hukum disektor kehutanan.

Desentralisasi kekuasaan yang pada mulanya diharapkan bisa menghilangkan bibit separatisme dan menurunkan kecemburuan pusat – daerah malah kemudian menjadi wadah bagi berkembangnya korupsi. Perang terhadap korupsi walaupun sangat dibutuhkan namun tidak semudah yang dibayangkan. Korupsi telah menguntungkan banyak pihak dan ada begitu banyak aktor-aktor kunci yang terlibat didalamnya.

Korupsi memang  menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan menambah keyakinan masyarakat bahwa pemerintah telah gagal dalam menyelenggarakan pemerintahan. Menteri Kehutanan pada tahun 2000 menyatakan:

”Menyebarnya korupsi telah mendorong banyak pihak yang memiliki koneksi untuk melakukan praktek-praktek illegal disektor kehutanan tanpa takut sedikitpun. Orang-orang yang terlibat disini termasuk perusahaan, pemerintah sipil, aparat penegak hukum dan anggota DPR”

Korupsi di daerah menemukan bentuknya ketika desentralisasi memberikan bupati otoritas penuh terhadap pengelolaan sumberdaya alamnya. Bentuknya bermacam-macam. Terdapat hubungan mutualisme antara pemerintah lokal dan perusahaan. Pemerintah menjadikan perusahaan sebagai ATM untuk kebutuhan yang tidak dapat dicover APBD termasuk kebutuhan pribadi. Perusahaan memenuhi kebutuhan pemerintah dan menerima imbalan dalam bentuk kemudahan perizinan dan pengamanan.

Hubungan perusahaan disektor hutan dengan sektor lainnya (seringkali yang memiliki kaitan dengan media massa di daerah) jauh lebih rumit. Perusahaan tersebut memberikan kontrak pengangkutan kayu kepada pengusaha yang bergerak di bidang media massa. Sebagai gantinya, media massa akan menjadi media efektif bagi kampanye ”Sustainable Development”nya perusahaan. Termasuk berbagai aktivitas sosial perusahaan bersangkutan. Partai dimana Menteri Kehutanan era SBY-JK berasal malah menempatkan seseorang yang menduduki posisi kunci dari salah satu perusahaan Pulp n Paper terbesar di Riau, sebagai bendahara. Ada keuntungan dari kedudukan tersebut? Yang jelas perusahaan bersangkutan terikat dengan beban hutang yang besar sehingga membuat kreditor takut kehilangan uangnya apabila perusahaan ini dinyatakan bangkrut. Satu-satunya cara untuk dapat membuatnya mampu melakukan pembayaran kredit adalah akses terhadap hutan agar mesin usahanya selalu mempunyai bahan baku untuk menghasilkan dollar. Mungkin bisa diraba sampai sejauh mana mutualisme tersebut berlaku.

Seluruh model korupsi dan kolusi di tingkat nasional di zaman Soeharto dapat ditemui dalam skala yang lebih kecil namun lebih luas di masing-masing daerah yang memiliki sumberdaya hutan.  Bukan rahasia umum apabila bupati memberikan sejumlah konsesi hutan untuk menjamin kesetiaan pendukungnya, untuk mendanai aktivitas partainya dan sebagai reward kepada teman-teman politiknya atas bantuan yang diterima sehingga bisa menduduki jabatan puncak.  Korupsi telah membuat perusahaan mampu memenuhi kebutuhannya. Apapun. Mereka juga bisa menyewa kepolisian dan militer untuk menekan konflik yang terjadi dengan masyarakat. Aparatur negara yang seharusnya berdiri di tengah dalam melerai konflik sekarang saling bahu membahu dengan perusahaan untuk menyelamatkan perusahaan. Meskipun itu berarti melanggar hak asasi manusia.

Keterlibatan militer dan kepolisian dalam bisnis kayu sudah berlangsung lama. Skema ini adalah skema yang dimainkan Soeharto untuk menjamin kesetiaan mereka. Sejak era Soeharto pula militer/kepolisian dengan pihak swasta saling mempengaruhi untuk melakukan ekstraksi rimba.Militer/kepolisian mendapatkan untung dengan kehadiran pengusaha dalam bentuk dana segar untuk membeli sejumlah peralatan ekstraksi yang kala itu memang sangat mahal harganya. Pengusaha mendapatkan keuntungan dengan kehadiran militer karena mampu menekan pemerintah daerah untuk mempermudah segala urusan sekaligus menjamin akses mereka terhadap hutan. Termasuk sebagai tukang pukul bila terjadi konflik dengan masyarakat.

Sejak lama memang kepolisian dan militer pada level prajurit menghadapi masalah terkait dengan rendahnya salary yang mereka terima dan tingkat kesejahteraan yang jauh dibawah standard. Dan jumlahnya mencapai ratusan ribu. Tentunya mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan manakala perusahaan menawarkan apa yang tidak mereka terima dari negara, meskipun itu berarti menjadi tukang pukul perusahaan. Dan ketika dirasa modal sudah mencukupi, mereka akan mencari masyarakat sipil untuk melakukan pembalakan dihutan alam. Tidak perduli dimana saja. Tidak ada yang berani melarang. Sosok militer/kepolisian pada era Soeharto ditakuti bukan karena masyarakat patuh terhadap peraturan atau pemerintahan namun karena masyarakat tidak ingin berurusan dengan institusi yang lebih mengedepankan otot daripada otak.

Karakteristik Praktik Korupsi PADA HUTAN ALAM

  • tidak melakukan penataan batas dan penataan kawasan lindung,
  • tidak menganggap penting persetujuan masyarakat setempat dalam pelaksanaan tatabatas
  • tidak menjalankan kewajibannya melakukan kegiatan perlindungan terhadap areal kawasan kawasan lindung diareal konsesinya.
  • kapitalisasi yang dilakukan tidak ditanamkan kembali pada pengelolaan hutan
  • tidak melakukan audit keuangan oleh akuntan publik atau laporan keuangan tidak cukup untuk menilai alokasi dana untuk pengelolaan hutan alam lestari
  • melakukan kapitalisasi dan reinvestasi tetapi tidak terkaitd engan penambahan potensi modal dalam bentuk tegakan hutan
  • menunggak Dana Reboisasi dan Provisi Sumberdaya Hutan
  • tidak menyediakan dana  untuk kegiatan pengelolaan hutan dengan lancar dan proporsional
  • tidak melakukan investasi untuk kegiatan pengembangan sumberdaya manusia dan pengelolaan kawasan lindung.
  • tidak membuat rencana kerja baik jangka panjang maupun lima tahunan pada twaktu yang telah ditentukan
  • berbagai korupsi bisnis yang terkait dengan pengukuran pertumbuhan, riap dan Petak Ukur Pemanenan
  • tidak terdapat kesesuaian antara rencana pengaturan hasil dengan realisasinya.
  • komitment peningkatan peran serta masyarakat dan pengadaan kesempatan kerja yang hanya sebatas rencana dan komitmen tertulis
  • implementasi mekainsme peran serta masyarakat yang diterapkan secara sepihak oleh unit managemen
  • kesempatan kerja dan pelatihan hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan tenaga kerja/buruh kerja kasar dan operasional lapangan.

Karakteristik korupsi pada hutan tanaman

  • tidak melakukan dan menyelesaikan penataan batas kawasan,
  • kuantitas dan kualitas pal batas yang dipasang tidak cukup untuk pembatasan hak
  • mengabaikan kemungkinan telah adanya lahan masyarakat setempat atau masyarakat adat didalam kawasan konservasi.
  • penataan areal kerja hanya dilakukan sepihak diatas kertas
  • tidak mengikutsertakan masyarakat setempat dan mengabaikan potensi konflik dengan lahan masyarakat dalam penataan areal kerja lapangan
  • tidak menyelesaikan penataan areal kerja hingga ketahap pengukuhan
  • tidak melakukan penandaan batas areal tidak efektif dan hanya melakukan penandaan batas areal efektif (blok rencana kerja tahunan).

Korupsi pada akhirnya telah melemahkan aparat penegak hukum itu sendiri. Kasus-kasus yang mendudukan pemerintah lokal dan perusahaan besar sebagai tersangka seringkali lenyap begitu saja dan ini seringkali terjadi. Kejaksaaan, kepolisian dan hakim yang terlibat menggunakan situasi ini untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Keterlibatan langsung militer/kepolisian dan dukungan tidak langsung dari pemerintah dan aparat penegak keadilan lainnya terhadap situasi ini berhasil membuat perusahaan memiliki pengaruh yang sangat besar untuk mempengaruhi politik lokal dan yuridiksinya. Seorang pejabat senior kehutanan pada tahun 2001 mengaku bahwa tidak sampai sepuluh persen kejahatan kehutanan yang sampai di pengadilan. Diputuskan atau tidak itu harus mengacu pada angka yang lain.

Dalam kondisi demikian seperti ini, menjadi sulit rasanya berharap bahwa peraturan perundangan akan mampu memperbaiki sektor kehutanan. Alih-alih memperbaiki, sektor kehutanan tetap menarik banyak pihak untuk dieksploitir, dari mulai militer, polisi, pejabat pemerintah, anggota DPR dan bahkan aparat penegak keadilan.

3. GAP antara supply dan demand

Indonesia, sejak awal memang didesign untuk memenuhi kebutuhan raw material dan komoditi jadi bagi negara-negara utara. Surat perintah Sebelas maret bukan saja memberikan kekuasaan penuh kepada Soeharto namun juga sekaligus titik balik masuknya asing dalam perekonomian Indonesia.

Negara-negara utara tiba-tiba saja mengatur apa-apa yang harus dilakukan oleh Indonesia. Memasuki abad 21, Indonesia tidak hanya diharuskan memenui kebutuhan negara utara namun juga termasuk didalamnya China, Jepang dan India. Jutaan hektar hutan dibabat dan diganti dengan tanaman eksotis lalu diekstraksi dan menghasilkan CPO, kertas, plywood dan kayu gergajian untuk memenuhi kebutuhan negara-negara tersebut. Situasi ini muncul selain yang telah disebutkan diatas juga karena paradigma pertumbuhan ekonomi indonesia didasarkan pada usaha ekonomi berbasis lahan dan devisa dari hasil ekstraksi sumberdaya alam terus menerus dijadikan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi.

Pasca desentralisasi, permasalahan bertambah rumit. Kebijakan IPK seratus hektar malah kemudian digunakan oleh Pemerintah Daerah bukan saja untuk memenuhi kas daerah namun juga sekaligus memenuhi pundit-pundi partai dan sebagai “tanda mata” bagi para pendukungnya. Keluarnya PP no 32/2002 bukan saja tidak dipatuhi namun juga dibaca sebagai salah satu cara untuk melucuti kekuasaan daerah. Segera saja sentiment daerah dikedepankan. Melucuti perizinan yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan cara memberikan perizinan yang jauh lebih besar dari yang disyaratkan dan bahkan diatas kawasan yang telah dibebani hak.

Pasca desentralisasi juga ditandai dengan beban hutang industri kehutanan yang harus ditanggung rakyat Indonesia. Beban yang kemudian memicu percepatan ekstraksi atas hutan alam indonesia dan proses konversi dari kayu ke uang, diantaranya memudahkan proses peningkatan kapasitas produksi, perluasan konsesi, dan bahkan menjadi bintang iklan industri kehutanan itu sendiri.

Belum selesai, pasca desentralisasi juga memunculkan masalah baru dalam hal kordinasi antara pusat dengan daerah. Ada begitu banyak informasi dan perubahan dalam industri hulu dan hilir yang alpa dikomunikasikan ke pusat sehingga membuat berbagai departemen yang terkait dengan sektor industri kehutanan mengeluarkan angka yang sangat jauh dari realitasnya. Jangankan Departemen, bahkan dinas propinsi memiliki kesulitan untuk mengetahui Rencana Pemenuhan Bahan Baku yang ada di tingkat kabupaten.

Sementara itu, terkait industri mikro berbahan baku kayu juga tidak terkordinir dengan baik antara Departemen Perindustrian dengan Dinas di daerah. Ada begitu banyak laporan perkembangan industri yang tidak sampai ke Jakarta dan ada begitu banyak distorsi informasi berkaitan dengan keberadaan industri mikro tersebut. Belum lagi kordinasi antara Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian, dimana yang terakhir  ini juga memiliki kewenangan untuk meningkatkan kapasitas produksi industri meskipun itu berkaitan dengan sektor kehutanan.

Dengan kesimpangsiuran kordinasi seperti ini, industri kehutanan di daerah terus menggeliat. Sebagian masuk ke kas daerah namun bagian terbesarnya masuk ke pundit-pundi partai pemenang pemilu.

Sejurus dengan itu, kerusakan hutan alam Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 1950 sampai dengan 1985 angka kerusakan mencapai 32,9 juta hektar atau setara dengan 942 ribu hektar setiap tahun. Penguasaan 70 persen pasar plywood dunia pada tahun delapan puluhan juga memicu kehilangan hutan seluas 45,6 juta juta hektar atau dengan rata-rata deforestasi 5,7 juta hektar hutan pertahun (1985 – 1993). Ini adalah angka tertinggi deforestasi di Indonesia. Seperti fenomena gunung es, angka ini bisa jadi lebih tinggi dari yang sebenarnya terlihat. Sampai dengan tahun 2004 lahan kritis di hutan mencapai 59,17 juta hektar dan lahan kritis diluar kawasan hutan mencapai 41,47 juta hektar. Sebagian besar dari lahan yang rusak tersebut tersebar di 282 Daerah Aliran Sungai (DAS)[8].


[1] WALHI, 2007
[2] Mutualisme, saling menguntungkan dengan alam sekitar.
[3]  H. deForesta, A. Kusworo G. Michon, dan W.A. Djamiko, eds., Agro-forest Khas Indonesia: Sebuah SumbanganMasyarakat (Bogor, Indonesia: International Center for Research on Agro-Forestry, 2000).
[4]  Tidak ada perbedaaan secara filosofis antara UU Kehutanan No 5/65 dengan UU Kehutanan No 41/99. Perbedaannya hanya pada penghilangan kalimat yang berbunyi “fungsi hutan sebagai salah satu unsur basis pertahanan nasional” (butir b) dan kalimat “tidak sesuai dengan tuntutan Revolusi”, (butir c) dan ”untuk menyelesaikan Revolusi Nasional” (butir d).
[5]  UU No 41/99 pasal 1 ayat (6)
[6] Praktik Korupsi Bisnis Eksploitasi Kayu, ICW & Greenomics, 2004
[7] Praktik Korupsi Bisnis Eksploitasi Kayu, ICW & Greenomics, 2004
[8]  Rencana Pembangunan Jangka Panjang kehutanan Tahun 2006 – 2025

Baca Juga
Bagaimana Hutan Melawan Perubahan Iklim
Melindungi Hutan Saja Tidak Cukup
Menolak Sawit, Cerita Suku Awyu Dan Moi