Batu bara akan ditinggalkan 190 Negara, Bagaimana Indonesia?

Batu bara akan ditinggalkan 190 negara, bagaimana dengan Indonesia
pembangkit listrik tenaga batubara

Batu bara akan ditinggalkan negara-negara di dunia termasuk Polandia, Vietnam, dan Cile yang berkomitmen untuk beralih dari sumber energi fosil. Komitmen itu dimuat dalam salah satu perjanjian KTT Iklim COP26 di Glasgow, Inggris.

Lebih dari 40 negara telah menandatangani pernyataan tersebut. Pemerintah Inggris mengatakan Polandia, Vietnam, dan Cile termasuk di antara 18 negara yang setuju untuk menghentikan dan tidak membangun lagi pembangkit listrik tenaga batu bara.

Mereka juga telah sepakat untuk menghapus pembangkit listrik tenaga batu bara pada 2030-an untuk negara-negara maju, dan pada 2040-an untuk negara-negara miskin, kata Inggris.

Belasan negara itu juga berjanji untuk mengakhiri semua investasi pada proyek baru pembangkit listrik tenaga batu bara di dalam negeri dan internasional.

“Akhir dari batubara sudah di depan mata,” kata Menteri Bisnis dan Energi Inggris Kwasi Kwarteng.

“Dunia sedang bergerak ke arah yang benar, siap untuk mengakhiri nasib batu bara dan merangkul manfaat lingkungan dan ekonomi dari pembangunan masa depan yang didukung oleh energi bersih.”

Menteri Bisnis dan Energi Inggris dari kabinet bayangan Ed Miliband mengatakan ada “kesenjangan yang mencolok” dari negara-negara seperti China dan penghasil emisi besar lainnya, yang belum berkomitmen untuk menghentikan peningkatan batu bara di negaranya. Dia juga mencatat bahwa tidak ada penghapusan minyak dan gas secara bertahap.

Miliband mengatakan pemerintah Inggris “membiarkan negara-negara itu tetap melakukan kesalahan”.

Meskipun ada kemajuan dalam pengurangan penggunaan batu bara secara global, tapi batu bara masih menghasilkan sekitar 37% listrik dunia pada 2019.

Negara-negara seperti Afrika Selatan, Polandia, dan India membutuhkan investasi besar untuk membuat sektor energi mereka lebih bersih.

Kepala delegasi Greenpeace di COP26 Juan Pablo Osornio mengatakan: “Secara keseluruhan pernyataan tersebut masih jauh dari ambisi yang dibutuhkan untuk mengurangi bahan bakar fosil dalam masa-masa kritis ini.”

Dia menambahkan: “Perjanjian ini tampaknya memberi kelonggaran besar bagi banyak negara untuk memilih tanggal penghentian mereka sendiri, walaupun judul perjanjiannya sangat memukau.”

Di mana Posisi Indonesia?

Pemerintah Inggris sebagai tuan rumah KTT COP26 belum mengeluarkan daftar lengkap negara yang menandatangani perjanjian yang diberi nama Global Coal to Clean Power Transition Statement itu. Posisi Indonesia dalam perjanjian ini pun belum jelas.

Namun bersamaan dengan pengumuman perjanjian itu, dikutip dari Reuters, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan Indonesia dapat menghentikan PLTU batu bara secara bertahap pada 2040 jika mendapat bantuan keuangan yang cukup dari masyarakat internasional. Sebelumnya, Indonesia memasang target tersebut pada 2056.

Masih pada Rabu (3/11), Indonesia bersama Asian Development Bank (ADB) dan Filipina meluncurkan kemitraan untuk mempercepat transisi energi bersih di KTT Iklim COP26.

“Indonesia dan Filipina memiliki potensi untuk menjadi pionir dalam proses menghilangkan batu bara dari bauran energi di kawasan kami, memberikan kontribusi besar terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca global, dan mengarahkan pertumbuhan ekonomi mereka ke jalur rendah karbon,” kata Presiden ADB Masatsugu Asakawa, dikutip dari situs resmi ADB.

Dana Investasi Iklim

Indonesia juga baru saja terpilih menjadi salah satu negara yang mendapatkan bantuan dari Dana Investasi Iklim sekitar Rp3,9 triliun untuk program Percepatan Transisi Batubara.

“Inisiatif ini dapat menjadi jalan keluar bagi Indonesia untuk menghentikan operasi PLTU batu bara di 2040 sesuai rekomendasi IPCC dan melakukan transisi ambisius ke energi bersih dan terbarukan,” kata Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya.

“PLTU batu bara dengan kapasitas saat ini sebesar 31,9 GW telah berkontribusi sangat besar terhadap perubahan iklim serta dampak kesehatan, social, dan ekonomi yang merugikan rakyat Indonesia. Belum lagi tambahan sebesar 13,8 GW PLTU di dalam RUPTL 2021-2030, 90% di antaranya akan dibangun di Jawa dan Sumatera yang sudah mengalami kelebihan kapasitas,” tambah dia.

Permintaan energi di Asia akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030, kata ADB. Asia Tenggara adalah salah satu kawasan yang terus membangun PLTU batu bara baru.

Dalam laporan yang dirilis lembaga nirlaba Carbon Tracker pada Juni lalu, Indonesia termasuk ke dalam daftar lima negara Asia yang bertanggung jawab atas 80% rencana pembagunan PLTU batu bara baru di seluruh dunia. Hal tersebut dianggap mengancam target iklim yang sudah ditetapkan. Di mana posisi Indonesia?

Bagaimana sikap Indonesia terkait batu bara?

Pada Oktober lalu, BBC News menerima bocoran sejumlah dokumen draf “laporan penilaian” oleh Panel Antar-pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC). Dalam dokumen muncul klaim bahwa “Indonesia mengatakan tidak akan menutup pembangkit listrik batu baranya sampai energi variabel dari energi terbarukan dapat disimpan dengan baik.”

Lalu klaim lain dari pemerintah Indonesia menyatakan bahwa “Negara-negara dengan cadangan yang melimpah akan cenderung masih menggunakan batu bara karena merupakan sumber energi lokal mereka.

Dengan kebutuhan untuk memiliki pembangkit listrik yang murah, stabil, dan menyediakan beban dasar (sesuatu yang masih tidak dapat disediakan oleh energi terbarukan variabel), penggunaan energi fosil ini masih jadi fokus sehingga gagasan bahwa batu bara akan menjadi aset terdampar, tampaknya tidak masuk akal untuk negara-negara itu.”

Menurut penulis laporan, sebagian klaim itu benar.

“Pemerintah Indonesia memang mengatakan bahwa negara-negara akan cenderung masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi lokalnya. Saya tidak menerima bahwa ini sama dengan mengatakan tidak akan menutup pembangkit batubaranya sampai energi variabel dari energi terbarukan dapat disimpan dengan baik.

Itu agak mirip, tetapi tidak sama.”

Pemerintah Indonesia belum mengonfirmasi bocoran dokumen tersebut dan belum memberikan tanggapan.

Kumpulan “laporan penilaian” itu dibuat setiap enam hingga tujuh tahun sekali oleh IPCC. Ini adalah badan PBB yang bertugas mengkaji perubahan iklim dari sudut keilmuan.