Mengatasi Perubahan Iklim Perlu Dukungan Semua

Mengatasi Perubahan Iklim per;u peran semua pihak
Mengatasi Perubahan Iklim per;u peran semua pihak

Mengatasi Perubahan Iklim | Uni Eropa menggelar Pekan Diplomasi Iklim di Indonesia yang berlangsung pada Oktober lalu. Acara tahunan yang digelar di seluruh dunia ini bertujuan untuk mengkampanyekan kesadaran tentang perlunya kerjasama dalam menghadapi perubahan iklim dunia yang mengancam peradaban manusia.

Dalam acara pembukaan Pekan Diplomasi Iklim yang digelar secara virtual di Jakarta, Senin (11/10), Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket menjelaskan tahun ini seluruh dunia sudah melihat dampak buruk dari perubahan iklim. Dalam beberapa bulan terakhir, terjadi kebakaran hutan hebat dan banjir bandang di banyak wilayah termasuk Eropa, Amerika dan Asia.

“Satu-satunya cara mesti dilakukan adalah dengan mengambil tindakan untuk melindungi lingkungan dan kehidupan manusia, serta meletakkan dasar bagi tipe perekonomian dan masyarakat yang baru. Kita perlu mengambil tindakan tegas dan kita butuh untuk melakukan itu sekarang,” kata Piket.

Mengutip laporan yang dikeluarkan oleh IPCC (Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim) Juli lalu, Piket mengatakan perubahan iklim sedang terjadi dan pemanasan global yang sedang berlangsung akan mempengaruhi kehidupan manusia.

Laporan ini menuntut semua negara untuk segera mengurangi pengeluaran emisi CO2 (karbondioksisa) hingga ke angka 0, dan mendesak semua negara untuk meningkatkan tindakan untuk melindungi lingkungan, seperti hutan dan biota laut.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya (kanan), dan Presiden COP-26, Alok Sharma, memberikan keterangan terkait persiapan Indonesia jelang Conference of Parties (COP) ke-26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Mengatasi Perubahan Iklim Perlu Dukungan Semua Pihak

Piket menekankan perlunya diambil tindakan-tindakan dramatis untuk menghambat perubahan iklim dan mencapai Perjanjian Paris, yaitu membatasi penambahan kenaikan suhu bumi menjadi kurang dari 1,5 derajat Celcius. Untuk itu ia menyerukan kepada semua negara untuk menyiapkan strategi nasionalnya masing-masing agar mampu mencapai target emisi gas rumah kaca menjadi 0 persen.

Menurutnya, untuk mengatasi Perubahan Iklim, Uni Eropa dan 27 negara anggotanya sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 menjadi nol pada 2050. Uni Eropa telah menyiapkan paket kebijakan untuk memenuhi target tersebut Juli lalu, dan siap memimpin upaya global dalam menghadapi perubahan iklim dunia. Namun Uni Eropa mengakui pihaknya tidak bisa bertindak sendiri.

Piket menegaskan jika semua negara berpartisipasi untuk mengupayakan emisi gas rumah kaca sebesar nol persen maka dunia akan menang menghadapi perubahan iklim global. Sebaliknya, kalau dunia tidak bersatu, maka manusia akan kalah.

Ketua Dewan Pengaduan Polisi Independen (IPCC), Anthony Neoh (kiri) dan Wakil Ketua IPCC Hon Tony Tse Wai-chuen, menunjukkan laporan mereka tentang penanganan polisi terhadap protes demokrasi tahun lalu dalam konferensi pers di Hong Kong, 15 Mei 2020.

Upaya menihilkan emisi gas rumah kaca dan memelihara keanekaragaman hayati merupakan dua hal yang harus dilakukan berbarengan, dan untuk itu Uni Eropa, tambah Piket, siap bekerjasama dengan Indonesia.

Dubes Jerman Untuk Indonesia:
Tahun 2021 Adalah Saat Darurat Untuk Pelihara Keanekaragaman Hayati

Pada acara tersebut, Duta Besar Jerman Untuk Indonesia Ina Lepel mengatakan tahun 2021 merupakan waktu yang sangat darurat untuk memelihara keanekaragaman hayati dan menghentikan laju perubahan iklim global. Sebab dunia sudah menyaksikan dampak buruk dari perubahan iklim.

“Kita harus menghentikan kerusakan kenakeragaman hayati di seluruh dunia dan di bawah kerangka kerja keanakeragaman hayati global yang baru, kita perlu untuk memastikan 20 persen dari wilayah daratan dan laut dunia terlindungi,” ujar Lepel.

Lepel menambahkan restorasi merupakan cara yang murah dan cepat bisa diterapkan dalam menghadapi perubahan iklim dunia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Insitutite for Essential Executive Reforms (IESR), lembaga kajian energi dan lingkungan, menilai pesan dalam laporan IPCC itu sangat jelas dan karenanya semua warga harus menjadikan upaya penanganan perubahan iklim sebagai masalah serius dan darurat, dan sebagai misi kemanusiaan global. Indonesia, ujar Fabby, adalah salah satu penyumbang gas emisi karbon terbesar di dunia.

“Masalahnya adalah 86 persen dari energi Indonesia berasal dari bahan bakar fosil. Kami masih berusaha memberantas realitas tentang orang miskin, warga hidup dalam keadaan sangat miskin, kelas menengah masih tumbuh, tapi bukan berarti Indonesia menghindar dari upaya untuk meningkatkan ambisi soal perubahan iklim, terutama untuk mendukung pengurangan emisi global hingga 50 persen pada 2030 agar sesuai tujuan Perjanjian Paris,” tutur Fabby.

Ditambahkannya, Indonesia perlu pindah ke sumber energi terbarukan, menggunakan energi secara efisien, dan secara bertahap menghentikan operasi pembangkit yang menggunakan batu bara.



Perjanjian Iklim Paris adalah sebuah persetujuan dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCC) yang mengawal pengurangan emisi karbondioksida mulai berlaku tahun lalu. Perjanjian ini dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 di Paris, Prancis.

Perjanjian Paris memiliki tiga target yakni menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah dua derajat celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri dan mencapai upaya dalam membatasi perubahan temperatur hingga setidaknya 1.5 derajat Celcius, karena pembatasan ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak dari perubahan iklim.

Perjanjian ini juga bertekad meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah membuat suplai finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim.